Hal yang paling saya rindukan adalah santri-santri yang gemar menulis. Sebab, kebanyakan berpotensi. Mulai dari novel-novel cetar membahana melanglang buana ala Kang Abik dengan Ayat-Ayat Cinta yang pernah booming di awal tahun 2000-an lalu, hingga penceritaan detil dan runtut khas jurnalis oleh A. Fuadi dalam Tiga Menara. Novel-novel tersebut adalah sedikit dari karya-karya fiksi yang mampu mendobrak sastra yang cenderung monoton dengan karya-karya sebelumnya. Fiksi ini biasa disebut sebagai fiksi islami. Dikemas dengan penceritaan indah khas nilai-nilai keislaman. Ternyata, fiksi islami mampu menjadi salah satu pilihan penulisan untuk para penulis fiksi. Apalagi jika santri yang menulis. Tentu saja lebih baik, karena pengetahuan agama jelas berbeda dengan penulis fiksi lainnya. Belum lagi pengalaman sebagai santri, berkutat dengan lingkungan pondok, kitab-kitab kuning, wejangan-wejangan kyai, ragam aturan dan disiplin yang harus dipatuhi. Dan banyak hal lainnya, yang tentu saja
Lelaki itu kembali menyembunyikan senyumnya. Ini sudah kali ke sekian dia disambut secara berlebihan di rumah seseorang yang baru saja dia kenal. Bahkan kali ini mungkin terlalu. Di hadapannya terhidang secangkir mint tea dengan brownies kukus yang lezat. Kemudian semangkuk buah-buahan segar yang ditata demikian unik. Ada juga kudapan lain yang tak kalah nikmat. Dia menyandarkan punggungnya. Siapa yang tidak terpikat dengannya? Gumamnya dalam hati. Dia nyaris sempurna.