Istanbul Love Story


Novel ini sudah terbit di Google Playbook
Novel ini sudah terbit di Google Playbook, search saja dengan mengetik keyword Puspita RM 


"Daha çok şükredersen, daha çok mutlu olursun. Daha çok sabredersen, daha çok şanslı olursun (semakin kamu bersyukur, maka keuntungan akan menghampirimu)," Ulusoy Catagay memacu kapal ferinya di tepian Laut Marmara. Menyenandungkan pepatah kuno sembari menghibur diri. 

Ia harus berpatroli di sekitar Selat Bosphorus, dan Laut Marmara dalam cuaca buruk. Jika tidak bisa menyemangati diri, bagaimana jadinya?

Hawa dingin mulai menghempas buritan, mengantarkan aroma kematian. Ya, kematian untuk mereka yang tidak siap menyambut musim dingin. Catagay tersenyum penuh ironi. Lautan selalu berbau amis, bergelombang, dan tampak terlalu luas.

Siang ini ia melihat beberapa kapal lalu lalang di Laut Marmara. Semua tampak normal terkendali. Tidak ada yang aneh. Kapal-kapal berlayar sesuai dengan jalur resminya, feri-feri kecil berlalu dengan kecepatan terkendali, beberapa turis yang terkadang melakukan perbuatan tak pantas juga tampak biasa saja.

Catagay menengadahkan kepala. Langit berwarna krem kekuningan. Tidak ada matahari seperti layaknya musim dingin. Tapi, dirinya sedikit beruntung karena langit tidak menumpahkan hujan, ataupun salju. Di antara keheningan lautan ini, ia menghibur diri dengan menyetel musik keras-keras. Sembari matanya masih awas memandangi Laut Marmara.

Setelah puas berkeliling, ia membelokkan feri patrolinya menuju Selat Bhosporus. Ia memacu ferinya dengan kecepatan sedang, matanya masih mengawasi dengan ketajaman layaknya pandangan mata seekor elang.

Banyak orang tidak menyangka jika Bosphorus adalah perairan tenang yang berbahaya dan menggelora. Apabila dinikmati dari atas bukit, Bosphorus memiliki pantai menikung, dan berulang di beberapa bagian. Menyempit, kemudian melebar. Layaknya susunan danau, ataupun sungai besar dengan air tenang.

Padahal, arus air yang cepat dari Laut Hitam menuju Laut Marmara, terkadang menyerupai arus kecil tak terlihat. Di sinilah, arus-arus balik air tak menentu kadang menghambat laju perahu. Terkadang embusan angin yang liar mengganggu navigasi kapal. Kabut tebal yang sering terlihat di musim dingin juga pecahan-pecahan kecil es yang tajam dapat merusak lambung kapal atau menghentikan baling-baling kapal dengan cepat.

Di sinilah dahulu, Belisaurus seorang jenderal dari masa pemerintahan Justinian, berkelahi dengan Ikan Paus Porfiri dengan dahsyat selama berbulan-bulan. Di tempat inilah Gyllius memerhatikan kawanan lumba-lumba yang berenang ke sana kemari. Maka tak heran jika saat itu lumba-lumba menjadi salah satu symbol uang logam Byzantium. Di perairan inilah, Sultan Mehmed II mengepung Konstantinopel dengan armada kapalnya yang luar biasa kuat. Tentara Janissari yang agung.

Catagay menyipitkan pandangan, di tepi pantai tak jauh dari feri patrolinya, ia melihat sekelompok orang berkumpul. Kapal-kapal feri kecil tertambat di sekitar kerumunan itu. Segera saja lelaki berwajah menarik itu memacu ferinya untuk mendekat.

Catagay turun dari kapal dengan kaki yang terlatih. Sepatu boot hitamnya sedikit tenggelam ke dalam pasir yang empuk. Seorang lelaki—nampaknya nelayan—berlari kencang ke arahnya, napas tersengal dan bibirnya bergetar saat berkata, "Tolong, Pak. Kami menemukan mayat." []


Satu 


Ömer Usta Kahveci, 11 Desember

Sublime Porte sedang murung. 

Musim dingin mendekapnya hingga derajat terendah, 2° celcius. Embun-embun membeku di ujung jendela. Berpadu dengan hatinya yang gamang. Grinder berderit. Cangkir-cangkir keramik berdenting. Aroma kopi. Untuk sejenak, ia berusaha memahami yang terjadi beberapa menit lalu.

Apakah ini nyata? Rasanya seperti membalik masa lalu ke permukaan.

Ia meletakkan ponselnya begitu saja di meja.

Di luar, kabut tebal serupa kapas tipis mengepung jalanan Kapalıçarşı. Menyembunyikan tembok-tembok reruntuhan masa Konstantinopel yang berlumut tebal, namun terawat dengan baik. Menonjolkan lekukan labirin dari masa Sultan Mehmet II. 

Membuat siapapun harus sigap saat menapaki jalanan berbatu yang licin. Tetapi, tetap saja orang-orang bermantel warna-warni—lalu lalang dengan kecepatan yang sering membuatnya takjub. Berjalan dengan langkah-langkah lebar. Berderap memenuhi pasar yang riuh.

Pasar eksotik yang selalu membawanya ke masa Usmani. Bangunan berbatu yang tidak pernah diubah kecuali hanya sedikit mengalami pemugaran. Ia masih melihat kelebatan Horoz Dede—Sang Kakek Ayam Jantan—saat meletakkan ayam jago nan sombong di atas badukan marmer di tengah pasar. Ayam jantan tersebut mengepakkan sayap lebar-lebar, dan berkokok dengan nyaring setiap dua puluh empat jam. 

Memamerkan kemerduan suaranya ke seluruh sudut kota. Ketika mendengarnya, semua ayam jantan di daerah itu pun ikut berkokok. Mengingatkan jam berdoa, dan masa Subuh yang sering terlupakan.

Namun, Istanbul tidak akan pernah terlupakan. Kota kekaisaran yang hampir selama 16 abad menjelma menjadi ibukota tiga imperium paling berpengaruh di dunia. Berusia lebih dari tiga ribu tahun. Kota yang serupa dengan safir biru berserakan dari arah timur Marmara. Dipenuhi kubah-kubah, dan menara-menara masjid kuno yang menjulang di kedua sisi perbukitan, lalu melesak ke Bhosporus. Selat berkilau yang memisahkan Eropa dan Asia. Antara Marmara dan Laut Hitam, dahulu orang mengenalnya dengan sebutan Pontus Euxinus. 

Di sini, lelaki itu menemukan orang Mongol bergandengan tangan dengan orang Kaukasia. Orang Yafetik main catur dengan orang Kazakhs. Orang Arab menjual permadani pada orang Herber. Orang Timurid menawarkan teh melatinya pada orang Kyrgyz. Berduyun-duyun orang dari berbagai ras memenuhi pasar ini. Berkulit cokelat, berkulit kuing, berkulit putih, berkulit merah, dan berkulit hitam. Hiruk pikuk tanpa memedulikan suasana musim dingin yang ekstrim.

Kapalıçarşı yang unik.

Keunikan yang nyatanya, tidak mampu membuatnya lebih tenang hari ini. Ia mengembuskan napas dalam-dalam. Ingatannya masih saja terpaku dengan perkataan tersebut.

Lelaki itu kembali menyesap Tūrk Kahvesi yang tersaji dalam fincan. Ia sudah menghabiskan bercangkir-cangkir, untuk mengusir kegamangan hatinya. Kopi Turki selalu yang terbaik. Tapi kopi di kedai kopi Ömer Usta Kahveci yang tersembunyi di salah satu lorong pasar adalah sebaik-baik kopi Turki. Ia selalu merindukan Tūrk Kahvesi.

Menikmati secangkir legit Tūrk Kahvesi seperti mencemplungkan diri dalam ujian kesabaran. Metode seduhnya yang berulang memang tak bisa sekejap saja dilakukan. Setiap ibrik kopi setidaknya membutuhkan proses peracikan selama 20 menit.

Mengorbankan secuil waktunya untuk rasa yang menggigit itu rasanya sah-sah saja. Sebab itulah ia memutuskan berpagi-pagi menyusuri pasar yang ramai. Melewati lorong demi lorong, dengan harapan tak akan tersesat lagi. Mengeliminasi rasa dingin yang menyerbu. Kemudian tergopoh-gopoh ke dalam kedai.

Semula lelaki itu berniat melepas lelah, sembari menikmati keindahan Istanbul. Ia banyak bepergian ke kota-kota di seluruh dunia. Untuk bekerja tentunya, sekaligus mencuci mata. Namun, Istanbul mempunyai sensasi yang berbeda baginya. Bukan daerah wisata sepanjang jalan Beyoglu atau Divan Yolu yang mencolok, tetapi Hagia Sophia, Masjid Suelaymany, Kapalıçarşı, dan pasar-pasar kecil di daerah souk.

Namun, rencananya gagal.

Dua puluh menit lalu. Yah, hanya dua puluh menit dan pembicaraan singkat di telepon membuat segalanya berubah.

Entah, apa pendapat Armand mendengar berita ini.

Pengunjung mulai riuh memenuhi meja-meja kecil di kedai. Berlindung diri dari hantaman musim dingin. Di ujung ruangan, para 'barista' semakin sibuk memenuhi pesanan. Menyeduh kopi dengan metode tradisional khas Turki. 

Lelaki itu senang menyematkan kata 'barista' untuk pembuat kopi tradisional di kedai ini. Walaupun mereka tidak mendapatkan sertifikat barista internasional, tapi Tūrk Kahvesi yang disajikan selalu bintang lima di matanya.

"Assalamualaikum, Goulraeiz Abi!"

Fathan Emir menoleh, memandang seseorang yang tak ia kenal duduk di depan mejanya. Ia mengulas senyum kecil. Rupanya dia salah orang. Ia membatin. Kemudian menatap penuh minat lelaki tua yang begitu yakin dia adalah orang yang sama.

"Wa'alaikum salam," jawabnya setengah berbisik.

"Günaydın, Goulraeiz Abi!"

Fathan mengangguk bingung, "Günaydın, Dede."

"Nasılsınız?"

Ia masih menatap tak percaya, "Iyiyim. Alhamdulillah."

"Kamu pasti, sudah menghabiskan bercangkir-cangkir kopi."

Ia terhenyak, "Benar."

Lelaki tua itu berperawakan bungkuk, dengan punggung melengkung. Rambutnya hampir memutih sebagian. Hidungnya mancung luar biasa, dan mempunyai warna mata yang mulai memudar. 

Ia memakai mantel bulu warna kelabu yang sudah usang. Juga fez berwarna merah tua di atas kepala. Ujung fez, topi berbentuk tabung khas Turki, yang berumbai nampak bergerak-gerak saat dirinya berbicara.

"Saya bukan ...," Fathan berusaha melanjutkan kalimatnya, tapi tenggorokannya seperti kering. Tak tega rasanya menatap lelaki tua yang berwajah tulus itu.

Seperti tak menghiraukan apapun. Lelaki tua itu mengambil cangkir yang tersisa dari meja. Memandangi cangkir itu dengan saksama. Ia memutar cangkir yang hanya berisi ampas, lalu menutupnya. Begitu berulang-ulang. Kemudian cangkir dibalik, menunggunya beberapa saat seperti menunggu sebuah ilham. Kemudian mengembalikan ke posisi semula.

Fathan ternganga melihat kecekatan tangan lelaki tua itu.

"Kau sedang diliputi banyak pikiran, Goulraeiz Abi. Lihat sisa kopi ini," lelaki tua itu mengangkat tangannya seperti hendak mencengkeram sesuatu.

Fathan mencondongkan badan ke arah yang ditunjuk lelaki tua itu. Ia tak melihat apapun, kecuali ampas kopi berwarna hitam. Matanya membulat memandang lelaki tua itu.

"Tapi beberapa harapanmu akan terlaksana. Karena saat ditumpahkan, sisa kopi itu tidak menetes. Itu berarti harapan mungkin saja terwujud."

Kata-kata itu mengandung tuah, Fathan merinding mendengarnya. Namun, sesaat kemudian ia dapat menguasai dirinya.

Fathan menahan senyum, seumur hidupnya ia tak pernah memercayai ramalan. Apapun itu. Namun, ia membiarkan saja lelaki tua tak dikenalnya tadi melanjutkan ramalannya.

"Goulraeiz Abi, percayalah masalah ini tidaklah serumit yang kau duga. Mungkin saja, dengan ini kau bisa menemukan kebahagiaan."

Fathan melukis senyum hangat mendengarnya. Ramalan adalah ramalan. Tidak perlu dipercaya, apalagi diresapi.

"Namun, kau harus waspada dengan malapetaka yang mungkin akan kau temukan nanti. Berhati-hatilah!" bibir lelaki tua itu nampak bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir. Ada tekanan nada tak biasa dari suara tenornya.

Sebuah isyarat dari alam bawah sadar menyentilnya tiba-tiba. Fathan pun terhenyak. Dadanya bergemuruh. Ia menyumpah dalam hati, bahwa ia pantang percaya pada ramalan.

Lelaki tua itu berdiri. Memegang pundaknya dengan lembut, seperti berbicara pada anaknya sendiri. Entah mengapa Fathan merasakan sesuatu, tangan lelaki tua itu membuatnya merindukan seseorang yang belum pernah ia tahu sosoknya.

"Kau punya Allah, Goulraeiz Abi. Hanya Dia yang bisa membuatmu tenang. Mengapa tak kau kembalikan masalah ini pada-Nya? Bersikaplah lembut pada dirimu sendiri."

Lelaki tua itu kemudian berlalu begitu saja dari hadapannya. Berjalan terbungkuk-bungkuk ke arah pintu. Lalu lenyap ditelan keramaian pengunjung souk. Membiarkannya tercenung oleh kata-kata bijak yang keluar begitu saja dari mulutnya.

"Dia Firozan Karanfil, peramal kopi Turki, Emir Bey," suara Labib, pemilik kedai kopi langganannya terdengar tiba-tiba. Labib berkata sembari menuang kopi kesekian di cangkirnya. Labib adalah lelaki Yafetik bertubuh gemuk berusia 50-an. Ia sangat hangat kepada pelanggan kedainya.

Fathan mengangguk-angguk. Namun, pikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Matanya memandang kosong pada jendela kedai yang besar. Mencoba menelusuri jejak bayangan lelaki tua dengan fez merah itu. Namun, jejaknya sudah hilang.

"Seperti biasa, dia datang dan meramal orang yang disukainya. Semua orang ia panggil dengan nama Goulraeiz, saya sendiri kurang tahu siapa itu Goulraeiz. Walau sedikit aneh, tapi laki-laki tua itu sebenarnya sangat baik hati."

Fathan menyimak dengan baik. Ia adalah pendengar yang sabar.

"Anda akan lama di Istanbul, Emir Bey ?"

Fathan mengangkat bahu, "Sepertinya tidak Amca. "

Labib merapikan beberapa cangkir kosong dari meja Fathan, "Kalau Anda lama tinggal di sini biasanya pendapatan saya selalu surplus."

Fathan tertawa lebar, "Ömer Usta Kahveci paling laris disini."

Fathan melihat pengunjung datang silih berganti di kedai kopi kecil itu.

"Anda pelanggan saya yang paling pemurah, jarang yang memberi tip tambahan di sini. Anda bersikap seolah kedai ini adalah kafe hotel berbintang."

"Anda berlebihan Amca," Fathan menanggapi dingin. Ia sebenarnya tak suka di puji-puji, namun kebanyakan pedagang Turki adalah orang-orang yang paling ramah dan pandai menghamburkan pujian.

"Tidak, Emir Bey. Saya bersungguh-sungguh, Anda pasti bukan turis biasa."

Fathan menyembunyikan senyumnya, "Saya turis biasa yang doyan kopi, Amca."

Tapi itu tidak benar. Fathan Emir adalah seorang pebisnis handal yang sudah lama malang melintang di dunia bisnis. Ia adalah orang kepercayaan Armand Winaya, CEO Winaya Group. Perusahaan yang bergerak di bidang consumer goods.

Fathan Emir berpenampilan rapi, berperawakan jangkung dengan rambut ikal, dan warna mata abu-abu. Wajahnya memiliki garis-garis tegas, dan tajam. Kulitnya kecoklatan. Orang sering mengira ia adalah orang Turki, tapi itu tidak benar. Setidaknya ia yakin hal ini. Hal yang membuat ia yakin adalah karena dia memang benar-benar lahir di Indonesia, walaupun lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri.

Fathan adalah lelaki Jawa yang memiliki darah campuran. Masa kecilnya sedikit suram. Ia lahir di sebuah daerah eksotis–sebuah desa di Jawa Timur—yang terkenal bukan karena kemakmurannya, tapi karena perempuannya. Sungguh menyedihkan, ia selalu berkomentar dalam hati.

Tawang Nggeni–nama desa itu—adalah daerah yang sangat luas dan hijau. Dipenuhi persawahan dan perkebunan. Namun, yang terekploitasi darinya bukanlah hasil bumi yang melimpah. Tapi, perempuan-perempuannya yang konon "menikah" dan bersuami–jika memang itu dianggap suami—untuk mencari uang. Pernikahan dalam waktu tertentu untuk menyejahterakan keluarganya. Sedangkan persawahan dan perkebunan yang membentang luas adalah milik juragan kaya, atau perangkat desa.

Bayangan Fathan tentang ibunya tidaklah terlalu istimewa. Ibunya hanya seorang perempuan desa biasa yang lumayan cantik, dan berparas rupawan. Ibunya memiliki lima anak dari beberapa suami yang berbeda. Seperti Fathan, kakak, dan adiknya, sama-sama tidak menjumpai sosok ayahnya ketika mereka beranjak dewasa. Tapi itu tidaklah menjadi persoalan besar, karena hari-hari mereka diliputi pertanyaan.

"Makan apa kita hari ini?"

"Kapan uang SPP sekolah dapat dilunasi?"

"Kapan kita tidak makan nasi jagung atau nasi aking lagi?"

"Kapan kita bisa makan ayam selain di hari raya?"

Begitu seterusnya. Satu-satunya pertanyaan yang terasa berat baginya adalah, "Apakah Emak akan menikah lagi?" Karena ia sudah muak melihat "Bapak" yang berbeda-beda dari keempat saudaranya. Bapak, Papa, Abah, Ayah, atau sebutan yang lain, baginya sama saja. Ia selalu tahu kapan "para Bapak" itu akan ada lagi di rumahnya.

Fathan kecil seringkali mengintip dari balik gedhek kamarnya—yang berlantai tanah ke ruang tamu. Para calo itu akan menawari ibunya untuk menikah kesekian kali, karena "suami" yang lalu sudah pergi, dan tak kembali lagi. Tawar-menawar mahar, seperti tawar menawar barang dagangan di pasar. Jika ibu Fathan setuju, tak lama kemudian akan ada laki-laki asing di rumahnya, membawa begitu banyak makanan, baju-baju, uang, dan keperluan lain untuk dia, dan saudara-saudaranya. 

Seminggu kemudian akad nikah kecil-kecilan berlangsung, dan setelah itu ibunya akan sibuk mengurus laki-laki yang di panggilnya "Bapak." Ia dan saudaranya seperti tak ada di rumah itu. Tapi, hal itu tak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian "bapaknya" sudah lenyap dari rumah mereka. Ibunya kembali menjadi buruh tani di sawah.

Sejak kecil Fathan sudah berkerja membantu ibunya sepulang sekolah, kaki-kaki kecilnya kuat untuk berlari tanpa alas kaki, atau seharian menjadi buruh matun di sawah. 

Kulitnya hitam terpanggang matahari, dan rambutnya menjadi kemerahan. Ia akrab dengan lumpur, kepiting, kodok, ular sawah, gesekan padi yang tajam di kulit, tikus, wereng, burung-burung pemakan padi, dan obrolan dewasa yang di ucapkan buruh-buruh tani seusia ibunya. 

Mereka selalu mengharap kapan orang-orang berhidung mancung, dan bermata lebar akan datang lagi ke desanya. Menjadi "suami sementara" yang menyejahterakan. Mereka juga bicara betapa enaknya menjadi buruh pabrik.

Menjadi buruh pabrik, akan terlihat lebih terhormat, dibandingkan menghinakan diri dengan menerima laki-laki asing di rumah Emak.

Fathan selalu memerhatikan dan terpesona ketika melihat orang-orang muda dari desanya bekerja di pabrik. Mereka berangkat pagi-pagi dengan pakaian rapi, dan wangi. Pulang sore atau malam hari dengan menggunakan sepeda motor kredit baru, dan terlihat mencolok di desanya. Fathan bertanya-tanya dalam hati, kapankah dirinya bisa seperti mereka.

Saat ia lulus sekolah menengah, ia memutuskan untuk melamar pekerjaan di sebuah perusahaan PMA besar di dekat desanya. Daerah Tawang Nggeni memang berada tak jauh dari kawasan industri. PIER (Pasuruan Industri Estat Rembang) adalah kawasan industri terbesar disana. 

Beberapa perusahaan asing, dan lokal berdiri berjejer-jejer menawarkan mimpi, dan ilusi bagi masyarakat akan janji sebuah kemakmuran. Mimpi yang lama membius pikiran Fathan. Pun saat ia masih duduk di sekolah dasar, dan menatap penuh minat cerobong asap hitam yang menyembur dari perusahaan terbesar. 

Melewatinya dengan menggembala kambing milik tetangganya, kemudian berlama-lama menatap bangunan-bangunan industri di sana. Menanti saat terjadi pergantian shift, ataupun saat para pekerja pulang, dan menyemut memenuhi PIER.

Fathan diterima di sebuah perusahaan pengalengan ikan. Ia mengawali karirnya sebagai staf produksi. Kemudian mengawali kerja berkepanjangan bersama mesin-mesin produksi, dan shift malam-pagi tiada henti. Fathan bekerja dengan keras dan menyatu dengan irama mesin. Merasakan makan udang beku mentah bersama teman-teman satu tim jika kelaparan. Terkantuk-kantuk di tengah malam dingin. Sementara tangan dan kakinya melepuh karena terlau sering memegang es. Fathan terobsesi karena kemiskinan. 

Pelan-pelan karirnya meningkat, menjadi leader tim, kemudian supervisor. Ia mendapat kesempatan beberapa kali mengikuti training di Jepang selama tiga bulan. Ia berada di Tokyo dan mengalami dejavu.

Inilah duniaku, Fathan berkata dalam hati. Ia melihat dunia yang sangat berbeda. Orang-orang yang terpelajar. Juga tutur kata yang sopan dan halus. Kota yang ramai dan bercahaya. Gedung-gedung yang mencakar langit. Semuanya membuat ia merinding.

Ia jatuh hati pada seorang gadis Jepang, instruktur mesin tempat ia mendapat training. Tapi, gadis itu–Maruko—hanya kasihan melihatnya. "Kamu orang Indonesia yang baik, dan cerdas. Tapi kurasa aku bukan tipe yang cocok untukmu," katanya sopan pada Fathan.

"Tapi, kenapa?" Wajah Fathan mengeras.

"Fathan-san, untuk mendapatkan seorang gadis kamu harus menjadi seseorang."

"Aku ... aku ... seorang supervisor, Maruko-chan," ia tergagap.

Maruko mengibaskan rambut panjangnya, "Kamu tahu, bukan itu maksudku."

Ia terenyak dan membiarkan Maruko chan—dengan wajah oriental, mata sipit, kulit putih, rambut hitam kelam, dan tinggi semampai—melenggang dari hadapannya.

Fathan melihat dirinya sendiri dari bayangan cermin sebuah toko fashion yang besar, ia melihat dirinya dengan baju konvensional, wajah tak memikat, dan penampilan yang canggung. Ia mengerti, Maruko tidak ingin berpacaran dengannya karena ia bukanlah lelaki yang menarik.

"Fathan-san, untuk mendapatkan seorang gadis kamu harus menjadi seseorang."

Ia harus berubah.

Lalu Fathan menghemat biaya hidup bulanannya. Pada akhir pekan pergi ke restoran serta melihat etika makan kalangan atas; cara memakai sendok dan garpu, menuang teh, membedakan sendok sup dan sendok makan, badan yang harus tegak, dan tidak menempel di badan meja, serta banyak lagi.

Ia ke tempat fitness, menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengangkat beban, dan berlatih bersama alat berat lain. Ia datang ke perpustakaan, lalu membaca buku-buku sejarah, ekonomi, seni, filsafat, dan sebagainya. Tiba-tiba ia menjadi predator buku.

Ketika kembali ke Jepang untuk mengikuti training yang kesekian, Fathan tak menemukan Maruko lagi disana. Ia merasa tidak kecewa akan hal itu. Namun, sejak saat itu ia tak pernah berhubungan dengan gadis mana pun. 

Padahal banyak gadis tertarik padanya. Ia menjadi eligible bachelor paling diminati di perusahaannya. Kesendirian menyebabkan orientasi seksualnya dipertanyakan. Tapi, ia tak perduli.

Pada akhir musim semi di Tokyo, ia bertemu dengan Armand Winaya pada sebuah presentasi bisnis. Fathan tahu bahwa Armand adalah konglomerat terpandang di Indonesia, namun kesopanan, dan etika yang ia pelajari tak membuatnya gugup. Sedangkan Armand melihatnya sebagai sosok yang ambisius, cerdas, dan penuh dengan ide-ide cemerlang. Ia langsung tertarik pada Fathan.

"Anda tak akan bisa mencapai karir puncak di perusahaan itu, Pak Emir. Anda tetaplah orang Indonesia, seharusnya Anda bekerja dengan perusahaan lokal namun berkaliber internasional. Bekerjalah dengan saya."

Fathan hanya mengucapkan terima kasih, tapi tak menanggapinya lagi.

Tak lama kemudian, saat perusahaannya menjalin kerjasama dengan perusahaan Armand, dalam sebuah tender pengadaan makanan kaleng untuk TNI. 

Sebagai marketing communication director—Fathan beberapa kali melakukan kesalahan fatal yang membuatnya dipecat dari sana. Ia menghubungi Armand, dan mengatakan ingin mengirimkan lamaran ke sana, namun Armand berkata.

"Aku sudah menyeleksi dirimu saat di Jepang, datanglah ke Surabaya. Aku ada di sana beberapa hari. Anda kami terima dengan tangan terbuka."

Itu kejadian sembilan tahun yang lalu, sekarang tanggung jawabnya lebih besar.

"Anda harus segera hadir di sini, Emir Bey."

Fathan kembali menghirup kopinya dengan rasa tak menentu. Kepalanya pusing, ia berpikir lagi. Ia memutuskan untuk menghubungi sekretarisnya.

Tidak ada waktu lagi, aku harus segera menuju Bebek.

"Anda mau tambah lagi, Emir Bey?"

"Teşekkür ederim, " Fathan mengangguk. []

Untuk selanjutnya bisa langsung ke wattpad saya di sini https://www.wattpad.com/story/217994152-istanbul-love-story




Komentar

Postingan Populer