KETIKA HUJAN BARU BERHENTI
Setiap kali hujan datang, Dol selalu
berlari ke ambang pintu dan mendongak melihat langit. Warna kelabu pucat
membentang luas di atas kepalanya. Seolah bentangan itu menutup langit dari
timur ke barat.
Titik-titik air mengguyur dari atas
langit membasahi daun-daun hijau di pelataran rumah. Semua basah. Angin kencang
menggerakkan daun-daun pisang sampai terbelah-belah. Sesekali suara angin
berdenging-denging di telinganya.
"Hujan lagi Mak!" serunya
kecewa. Mukanya mengkerut melihat air yang turun menderas mengikis tanah.
"Masuk ke dalam, Dol!"
Dia tidak mempedulikan suara Emak.
Air semakin mencurah. Langit semakin kelam. Sesekali bahkan guntur meledak
memekakkan telinga. Juga petir yang sesekali tampak berurat-urat di atas
langit. Pada saat-saat seperti ini tak ada seorang pun nyaman berada di luar.
Semua ingin berlindung di dalam rumah. Tapi tidak dengan Dol.
"Mak, aku main hujan ya?"
katanya meminta. Sebenarnya Dol berencana berenang di mata air Umbulan tak jauh
dari rumahnya. Tapi, emak tidak akan mengijinkan kalau titik-titik air itu
jatuh dari langit.
"Jangan, nanti sakit!"
kata Emak pendek. Perempuan paruh baya itu menutup jendela kayu agar angin dan
air tidak masuk ke dalam rumah mereka.
"Emak, aku tidak akan jauh.
Cuma di sekitar rumah saja!" Dol bersikeras.
Hujan semakin menderas. Membasahi
daun nipah yang teranyam sebagai atap rumah mereka. Mengalirkan butiran-butiran
air menetes menuju tanah.
Dol kembali berlari menuju ambang
pintu. Tangannya tengadah menatap langit. Dengan riang ia menggapai-gapai air
itu, lalu mengibaskannya. Rupanya kekecewaannya mulai mencair. Bermain hujan
tentu juga menyenangkan, pikirnya.
"Baiklah, tapi jangan
lama-lama!"
Segera saja Dol melesat menyongsong
hujan. Tubuhnya yang kurus semakin menyembul dari balik kaos yang basah. Dia
berlari dengan kecipakan air yang dibuatnya. Berputar-putar senada dengan
hempasan angin yang makin keras. Tak dihiraukannya kilatan petir yang
menjadi-jadi. Memang petir sedikit terhalang oleh rimbunnya pohon di daerah
itu. Warga desa menyebutnya alas.
Kata emak itu adalah tempat nenek
moyang mereka di kubur. Dulu nenek moyang mereka bergerilya di alas itu. Mereka
syahid melawan kompeni. Itulah mengapa warga desa sangat menjaga alas itu.
Jarang sekali pendatang
baru--orang-orang kota yang datang berpiknik ke tempat mereka dengan baju minim
itu- tahu tempat itu. Alas ini memang istmewa. Ah, Dol sering merasa bingung
dengan penjelasan emak. Yang Dol tahu, dia bisa bermain kupu-kupu di alas itu.
OOO
Hujan berhenti kala siang telah berangkat
separuhnya. Dol mendapati alam sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Langit
tampak membiru terang. Sesaput awan bergerak perlahan.
Dol tengadah menatap langit. Tidak
ada titik-titik air lagi. Sepanjang pagi dia telah bermain di alas. Dol
menggigil kedinginan dibawah rimbun pohon jati raksasa. Dia menyandarkan
punggung pada batang kayu besar. Bibirnya membiru. Dia merasa terlalu
lelah.
Emak pasti menunggunya. Dol
menuruni tangga batu pada jalan setapak sepanjang alas. Tangga batu itu terasa
agak licin. Anak-anak tangga itu berbentuk persegi dengan jumlah lumayan
banyak. Kaki telanjang Dol bergerak perlahan menuruni tangga itu.
Air menggenang di mana-mana.
Ceruk-ceruk air menggenang seperti danau-danau kecil. Andaikan Dol mendapati
ikan di sana tentu ia lebih gembira.
"Hei Dol, kau dari mana?"
itu suara Onah.
Gadis kecil berkepang dua yang suka
membuntuti Dol. Kata Onah, Dol adalah teman yang baiknya. Tidak seperti
teman-teman laki-laki lainnya. Dol tidak mengejek rambut Onah yang merah kusut.
Menurut Dol rambutnya bagus. Seperti rambut jagung. Onah selalu senang jika Dol
mengatakannya berambut jagung.
"Aku bermain hujan di alas tadi" jawab
Dol bangga.
Onah tersenyum. Onah menenteng
sebuh payung berwarna kuning. Onah tampak bersih seperti biasanya. Dia selalu
memakai sandal ke mana-mana. Beda dengan Dol dan teman-temannya yang merasa
sandal memberati langkah-langkah mereka.
Mereka berjalan beriringan
menyusuri jalan setapak berbatu kali. Jalan itu biasa mereka lewati jika ingin
memintas alas. Daun-daun jati bergerak perlahan meneteskan sisa hujan.
"Kau dari mana Onah?" Dol
bertanya keheranan. Seingatnya Onah tidak pernah bermain di alas.
"Aku ingin bertemu Bapak"
jawab Onah ringan.
"Bapak mu disini?" Dol
keheranan.
Dia tidak pernah bertemu Bapak
Onah. Yang dia tahu Onah tinggal bersama ibunya saja. Perempuan dusun yang jauh
lebih muda dan cantik dari Emak.
Kata Emak bapak Onah adalah
pendatang baru yang tinggal sangat jauh dari dusun mereka. Hanya sesekali dia
datang. Emak berpesan agar Dol menjauhi Onah. Emak tidak pernah menyebutkan
kenapa. Tapi, bagi Dol Onah adalah teman yang baik. Walau, dia melihat Onah
selalu saja memakai sandal. Kadang dia melihatnya bersepatu juga.
"Bapak mengambil jati untuk
dijadikan barang-barang."
"Haaahh?" Dol seketika
berteriak.
"Kenapa?" Onah
terkaget-kaget mendengar teriakan Dol.
"Bukankah jati ada di alas
ini?"
Onah mengangguk. Dia menarik tangan Dol menuju pipa besar yang membelah jalan setapak itu. Pipa ini juga milik para pendatang baru. Menurut Emak, pipa ini dialirkan ke kota. Karena orang kota tidak mempunyai air. Itu karena mereka tidak punya alas. Jadi mereka mengambilnya dari mata air mereka.
Dol sering berpikir bahwa para
pendatang baru itu seenaknya saja mengambil milik mereka. Bahkan dengan tidak
sopan berjalan-jalan di alas. Bukankah itu daerah pekuburan nenek moyangnya
dulu.
Dol tidak senang dengan itu.
Tak jauh dari sana. Ada suara
gemuruh. Seperti suara dengungan angin yang sangat kencang. Dol mencengkeram
bahu Onah.
"Jangan takut Dol, itu suara
mesin pemotong jati milik bapak," Onah tersenyum.
"Tapi Onah, bapakmu bisa
menyakiti alas ini!" tapi suara Dol tertelan dengungan mesin pemotong
jati.
OOO
Suara dengungan itu semakin keras
terdengar. Pohon-pohon bergetar menangkap suara yang menyiksa telinga Dol. Tak
jauh dari mereka ada gergaji besar menderu-deru mengikis batang jati raksasa.
"Bapaaak!" Onah berteriak
memanggil bapaknya.
Seorang lelaki berkulit putih
bersih kemerahan melambaikan tangannya. Lelaki itu berbadan besar dengan rambut
berwarna kuning. Dol baru kali ini melihat orang seperti itu. Lelaki itu
berpakaian aneh dan memakai sepatu.
Onah kini berada dalam gendongan lelaki
yang dipanggilnya bapak tadi.
Ternyata untuk mengambil jati,
Bapak Onah juga ditemani oleh beberapa orang berseragam. Dol senang sekali
menatap seragam mereka, tapi ia tetap tidak setuju kalau jatinya juga diambil.
Bukankah mereka sudah mengambil mata airnya?
"Siapa namamu, Nak?" lelaki berambut kuning itu berkata dalam bahasa Indonesia dengan logat aneh kepadanya.
"Bapak tanya siapa namamu
Dol" Onah menjelaskan sekali lagi.
Dol berdiam sejenak.
"Dol" akhirnya ia mendesis.
Ada rasa aneh yang menjalari
hatinya. Dia kasihan jati-jati besar yang biasanya menemaninya menangkap
kupu-kupu dirobohkan begitu saja.
"Bukankah seharusnya tidak ada
yang boleh tahu penebangan ini?"
"Tapi, dia cuma anak kecil.
Tidak akan ada yang percaya padanya. Tenang saja."
Dol semakin merasa aneh mendengar
percakapan orang-orang berseragam itu.
"Tapi, akan ada yang
curiga."
"Sudahlah," seru yang
lain.
"Sepertinya dia harus kita
singkirkan"
"Jangan berkata seenaknya, anak ini
juga punya telinga"
Dol beringsut. Ditatapnya tiga lelaki
berseragam yang sejak tadi mengamatinya. Dol merasa mereka tidak menyukai
kehadirannya.
Lehlaki berambut kuning itu, bapak Onah
mengulurkan sebatang coklat kepada Dol.
"Dol, the chocolate is very
delicious."
Dol menatap lelaki berambut kuning
yang tersenyum kepadanya. Ia kemudian melangkah mundur.
"Makanlah Dol, coklat itu
selalu kita makan bersama bukan?" kini Onah membujuknya. Yah, coklat itu
enak sekali. Lalu ia teringat Emak.
"Dol?"
"Tidak!" kata Dol,
"Aku ingin bilang jangan ambil jati-jati kami. Kalian bisa menyakiti alas
ini dan membuat kupu-kupu lari!"
Ia lalu berbalik, secepatnya
berlari pergi. Melintasi setapak, tanah, pepohonan.
"Dol!" seseorang
berteriak memanggil namanya.
Dol terus berlari. Matanya basah menatap jati-jati itu tumbang menyentuh tanah. []
BANGIL, 27 FEBRUARI 2008
Salam, Dears. Yeah ketemu dengan
cerpen lagi dong. Ada request cerpen nggak kira-kira? Happy reading. Jangan
lupa feedbacknya ya.
Komentar
Posting Komentar