Malam Pertama Lara






Lara Lembayung berjingkat pelan turun dari tempat tidur. Kakinya yang jenjang menapak dengan hati-hati di atas lantai parket. Suara derit kayu pelan terdengar. Lara meringis. 

Ia menoleh ke samping. Lelaki itu masih terlelap. Matanya masih rapat terpejam. Dadanya yang telanjang naik turun dengan napas teratur. 

Lara berhenti sejenak. Ia menatap lelaki itu dengan cermat. Seolah tak ingin kehilangan pesonanya. Lagi pula, siapa yang tidak terpikat? Cahaya samar kekuningan dari lampu tidur di sisi ranjang memperjelas setiap detil wajahnya. Rahang tegas, dengan hidung kukuh serta bibir tipis yang menggoda.


Lara merasa sering tersesat di dalamnya. Laki-laki ini terlalu memesona. Itu berbahaya. Ia mengambil napas dalam-dalam. Ia tahu akan sulit berpikir bijak pada saat ini.

Ia tak boleh lengah. Ingat Lara, sebentar lagi semua akan berakhir. Ia menegakkan punggung, merapikan piyama yang dipakainya. Berjalan pelan dengan berjinjit ke kamar mandi untuk membersihkan diri. 

Lara mengumpulkan buku-bukunya yang terserak, kamera, gawai, ipad, koper, dan tas rangselnya. Semua dengan gerak hati-hati. Tanpa diduga, gawainya bergetar. Takut membuat suara berisik, Lara mengambil gawai tersebut. 

“Lara, lama banget sih ngangkat teleponnya,” terdengar suara parau dengan nada bersungut. 

“Aku nggak bisa ngomong sekarang, nanti saja ya,” Lara menoleh kembali ke  ranjang. 
Lelaki itu tampak bergerak perlahan. Matanya masih terpejam erat. Napasnya sedikit memburu. Lalu kembali tenang setelah keheningan panjang yang diciptakan Lara. 

“Kok, kamu bicaranya berbisik begitu?”

“Di sini masih jam 5 pagi. Sudah, nanti saja bicaranya,” gumam Lara. 

“Sudah siang.”

“Di sini belum Subuh. Matahari terbit jam setengah sembilan nanti.”

“Kamu di Den Haag?”

“Yup.”

“Kamu ketemuan sama Juan lagi?”

“Jangan sok tahu!” Lara menjawab dengan sekenanya, ia sedang sibuk menulis di selembar kertas. Lalu menempelkan kertas pada meja kecil di samping tempat tidur. 

“Aku harus bertemu bibiku di sini.” 

“Gusti … Ra, kamu pikir aku percaya omonganmu itu? Aku sudah tahu kamu pasti ketemu laki-laki itu!” 

“Aku terburu-buru. Nanti saja kita bicara.”

Klik. Lara memutuskan sambungan telepon. 

Ia memasukkan gawainya di dalam tas ransel. Ia bergerak cepat mengganti pakaian. Long coat panjang semata kaki dengan rok lebar dan hijab berwarna abu-abu. Ia harus memakai syal, sarung tangan, dan kaos kaki. 

Ia melirik kembali kembali ke arah ranjang. Tersenyum getir. Di dekatinya pemilik rahang tegas itu. Sebuah kecupan tipis ia berikan sebagai tanda perpisahan. 

Perpisahan? Bukankah ini yang mereka inginkan? 

Lara termenung beberapa jenak. Matanya sedikit mengembun. 

Ia akan merindukan ruangan ini. Mungkin untuk beberapa bulan ke depan. Kalau mereka masih berstatus suami istri. Tapi, kalau status itu sudah hilang. Ia mungkin tak akan pernah kembali ke rumah ini. 

Villa Juan de Borgh. 

Rumah istirahat dengan arsitektur klasik abad pertengahan. Di sebuah daerah yang lengang di tepi kota Den Haag. Kota yang mungkin tidak ada lagi dalam daftar perjalanannya setelah hari ini. Kecuali jika ada tugas liputan yang sifatnya darurat.

Seberapa darurat? 

Apakah itu bukan karena ingin bertemu lelaki pemilik rahang tegas dan senyum sinis itu?
Lelaki yang mungkin saja sudah mencuri perhatiannya bertahun lalu. Saat ia masih tidak mengerti tentang cinta dan ambisi.

Lara memakai sepatu boot-nya yang masih baru dan terlihat mahal. Itu pemberian Juan kemarin lalu. Lelaki itu mengatakan, jika sepatunya sudah sangat dekil. Perlu diganti, agar jejak kakinya bisa lebih luas lagi di dunia. 

Saat itu Lara hanya tertawa. Ia tahu lelaki itu sedang merasa tidak enak hati. Karena membiarkannya berjam-jam menunggu di bandara. Ia juga mengerti Juan tidak akan bisa mengatakan permintaan maaf. Itu bukan sifatnya. 

Lara memastikan tidak ada yang tertinggal. Ia menyeret koper mungilnya perlahan. Memanggul tas ransel yang sudah pudar warnanya—yang selalu membuatnya ribut dengan Juan. 

“Kenapa tak kau ganti saja ransel kumalmu itu?” katanya suatu ketika. 

“Ini benda kenangan,” jawab Lara pendek.

“Dari pacarmu?” Juan tersenyum sinis. 

Lara mendengus pelan, “Itu rahasia, Mas Juan tak perlu tahu.” 

Lara menutup pintu dengan sangat pelan. Nyaris tak menimbulkan suara. Ia menuruni tangga melingkar dengan gegas. Mematikan lampu dapur setelah menengok masakannya kemarin. Rawon Jawa kesukaan Juan. 

Apakah setelah hari ini ia masih bisa memasak untuk suaminya itu?

Suami? 

Tumben kata itu ada dalam pikirannya. Karena selama ini ia tak merasa memiliki suami. 
Apakah betul begitu?

Di keheningan pagi, Lara menguatkan diri. Ia tak boleh terlambat. 
Hawa beku menyerbunya begitu membuka pintu utama. 



OOO



Terima kasih Juan, aku tak ingin mengganggu tidurmu
Penerbanganku di pagi buta, jadi aku sedikit terburu-buru  
                                          Lara                                                                 
                                                                                                         

Juan. 

Sejak kapan gadis itu berhenti memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Juan’? 

Aneh rasanya. 

Juan memandangi kertas di atas meja kecil di samping ranjangnya dengan penuh rasa benci. Seharusnya hari ini, Lara Lembayung—gadis itu masih ada di villa kunonya ini. 

Menikmati musim dingin yang menggigil bersamanya. 

Mendengarkan kata-kata sinisnya, sementara gadis itu hanya tersenyum tipis dan mengomentari dengan santai. Juan lalu bisa memandangi wajah eksotisnya dengan mata hitam keemasan yang selalu menyihirnya. 

Gadis itu menyenangkan. Tapi, ia tak bisa apa-apa jika gadis itu harus pergi meninggalkannya. Kembali ke negeri tropis nun jauh di sana. Meninggalkannya teronggok sepi dengan badan dingin terkurung salju. 

Ini benar-benar menggelikan. 

Juan memandangi kamarnya yang berantakan. Makanan tercecer di mana-mana. Seprei birunya terserak tak beraturan. 

Gawainya terlempar hingga di bawah jendela. Kemejanya teronggok begitu saja di lantai. Ikat pinggang dan sepatu sport-nya terlempar jauh di bawah kabinet.

Karpet Persia tebal terlihat miring dan sedikit tergulung. Sementara tirai jingga tampak tersingkap dan tercerabut dari tempatnya. Pigura-pigura foto kenangan tampak miring tak berada di tempat yang pas. 

Hem ya, malam yang hangat dan luar biasa. 

Juan tersenyum masam. Ini hanya pelampiasan kerinduannya selama ini. 

Bukankah rindu itu seperti dendam? Semua harus dibayar tuntas. 

Sudah berbulan-bulan ia tak bertemu Lara. Sedikit memaksa, ia ‘menculik’ Lara saat meliput Konferensi Perempuan Sedunia di Istanbul. Dengan sedikit tipu daya, ia berhasil membawa istrinya ke sini. Lalu mengerjainya hingga kamarnya menjelma menjadi kapal pecah.

Namun, gelas koktail dan kaleng-kaleng bir tampak rapi terbungkus plastik. Karena Lara tak menyukainya mengkonsumsi anggur. 

Gadis itu menahan marah dengan wajah memerah dan mulut mengatup rapat. Lara berbicara panjang lebar sembari memasukkan kaleng-kaleng bir dalam tas plastik besar berikut gelas koktail yang mahal. 

Ia berkata akan membuangnya esok hari. 

Juan menolak. Gadis itu berkata ia harus. Juan tak pernah melihatnya sekukuh ini. Jadi, ia minta timbal balik. Itu pikiran lelaki mana pun jika berhadapan dengan gadis secantik dan seeksotis Lara. 

Ia berjanji tak akan meminum bir lagi jika Lara memberinya malam yang indah. Bukankah gadis itu masih berstatus sebagai istrinya? 

Juan senang memandangi wajah Lara yang kemudian merona merah. Bibirnya yang penuh dan sensual bergetar saat mendengar permintaannya yang tanpa tedeng aling-aling. Gadis itu tak berkomentar apa-apa. Kemudian malam itu menjadi sangat panas. 

Juan memberinya malam paling indah setelah bulan-bulan penantian yang membeku, namun gadis itu pergi begitu saja meninggalkannya. Betul-betul tidak sopan. 

Sebelumnya, Juan yakin bisa menahan gadis itu setidaknya hingga dua minggu ke depan. Cuaca Desember tak begitu bersahabat, jadi menghabiskan waktu lama di dalam villa yang hangat dan sedikit terpencil ini tentu bisa membuat siapapun betah. 

Tapi, gadis bodoh itu pergi begitu saja!

Sangat menjengkelkan! 

Ia meremas habis kertas kecil yang membuat harinya buruk. Lalu melangkah menuju kamar mandi. Setelah memaksa diri membasuh tubuhnya dengan air hangat. Karena jelas itu bukan kebiasaannya untuk mandi di musim yang menggigil ini. 

Juan melakukan peregangan ringan, kemudian disusul dengan 100 kali push up, dan 100 kali sit up. Ini sekadar latihan rutin jika ia merasa tak bisa mengunjungi gym dalam waktu lama. Kadang ia berlari di atas treadmill selama 30 menit. 

Setelah sedikit berkeringat, Juan menyusuri villa kunonya ini dengan hati dongkol. Membiarkan dirinya duduk seperti orang tolol di dalam ruang baca. Termenung sembari mengotak-atik gawainya, membuka kotak masuk berulang kali. Mengharap, gadis itu mengirim email atau pesan. 

Ya, Tuhan! 

Aku sedang apa? Gumam Juan dengan gemas. 

Ia tak boleh bergantung pada gadis itu. Lagipula, setelah ini semuanya akan berakhir. Yah, semuanya. Hal-hal yang rumit mengenai hubungan mereka dan pernikahan paling konyol sedunia yang sedang dijalaninya saat ini. [Bersambung]

-----------------------------------------------------------------------------

Ini adalah opening dari cerbung dengan judul yang sama, untuk episode selanjutnya bisa dipantau di akun wattpad saya @puspitalagi .


Komentar

Postingan Populer