Etalase Perempuan


Sebuah gaun tipis berwarna hijau menyala dengan tali-tali kecil telah diletakkan ibunya di atas dipan.


Hari belum senja benar. 
Matahari masih tampak menyilaukan. Tapi, rumah-rumah susun yang berjajar padat di gang-gang sempit itu sudah mulai membuka pintu dan jendela, mencoba menawarkan sesuatu. 

Sesuatu yang menurutnya adalah sejenis perpaduan monoksida dan karbondioksida yang menyeruak busuk di tengah-tengah metropolis Surabaya. 

Ia tahu hanya dia satu-satunya penghuni Aster yang berpendapat  demikian. Tidak dengan yang lainnya. Apalagi ibunya, kakaknya, ataupun bibinya. Mereka semua sama. Seperti kebanyakan perempuan di tempat ini.

Jika hari sudah mulai gelap, perempuan-perempuan itu bangkit dari tempat tidur, menyisir rambut yang kusut,  mengukir alis, memakai foundation, menepuk bedak di pipi, menyapukan eye shadow, mascara, blush on, dan mengakhiri ritual itu dengan memoles lipstick merah darah yang selalu saja tampak mencolok. 

“Agar terlihat seksi,” itu rata-rata alasan mereka, jika dia mengomentari ‘lipstik berlebih’ itu. 

Tapi menurutnya, itu bukan sesuatu yang seksi namun lebih tampak seperti mulut ikan koi. Kadang-kadang perempuan-perempuan ini memakai wig juga. Kemudian mereka mulai memadupadankan baju-baju terbuka yang akan dikenakan untuk bekerja.

Bekerja? 

Ia menelan ludah. Suatu ketika dia bertanya pada ibunya,
“Bu, kenapa ibu tidak bekerja yang lain saja?”

“Nduk, semua perempuan bekerja seperti ibu,” jawab sang ibu yang sedang memilih wig di antara belasan koleksi yang dimilikinya.

“Ibu jangan bercanda,” dia tidak suka dengan jawaban itu.
Beberapa detik sang ibu menatap tajam kearahnya. Tapi, itu tidak membuatnya segan, ia harus tahu. 

“Kenapa, Bu?” ia tetap ngeyel.

“Semua perempuan adalah penjaja cinta.”

Ia terdiam beberapa jenak. Dahinya berkerut.

“Walaupun itu adalah perempuan baik-baik?” tanyanya kemudian dengan nada gamang. Ia teringat perempuan berjilbab yang mengajarinya mengaji di musala lengang tak jauh dari Aster. 

“Ya, semuanya. Walaupun itu adalah perempuan yang katamu baik-baik itu. Mereka semua sama seperti Ibu, penjaja cinta. Bedanya, Ibu menjajakannya kepada semua lelaki sedangkan mereka kepada satu lelaki saja. Mereka pun mendapat bayaran sama seperti Ibu.” 

“Tapi mereka menjajakannya secara terhormat, Bu. Pada satu lelaki saja. Mereka menikah dan hidup normal. Iya, kan Bu?”

“Terhormat, Nduk?” tanya ibunya dengan wajah mengejek.

“Iya, Bu. Ter-hor-mat,” ia berusaha menguatkan diri.

Dia mendengar sang ibu menyeringai kecil. Seperti menertawakan topeng monyet yang biasa mangkal di depan pondokan. 

“Tapi, tetap saja. Mereka pun sama dengan Ibu. Penjaja cinta!”

“Bukan, Bu! Mereka menghargai cinta!”

“Ah! Kamu ndak ngerti apa itu cinta, Nduk ….”

Itulah ibunya. 
Perempuan paling cerdas yang pernah ditemuinya. Sekaligus juga paling dungu. 

Tapi, entah! Filosofi sang ibu tentang ‘perempuan adalah penjaja cinta’ sangat mengganggu pikirannya. Dia terdiam. Berpikir. Kenapa?

Apa karena dia juga seorang perempuan?

Masih belum gelap juga. Tapi beberapa perempuan dengan berbagai keunikan seperti siap melempar jaring asmara mereka. Para lelaki yang kebetulan lewat menjadi korban. Seperti yang ia lihat saat ini. 

Perempuan manis menyembul dari balik jendela besar. Berbaju merah dengan belahan dada yang begitu rendah. Ia melempar senyum. Entah pada siapa ia tidak tahu, yang ia tahu itu adalah umpan. Kini ada ikan kakap besar datang. Seorang lelaki berjaket hitam dengan dandanan eksekutif tampak penuh tanda tanya menatapnya.

“Mbak, yang ada dibalik jendela tersenyum pada siapa?” sapanya menggoda.

Perempuan itu tak menjawab lagi-lagi tersenyum.

“Pada saya mungkin?” tanya lelaki itu penasaran.

“Ya, pada Kangmas–mungkin," jawabnya dengan senyum malu-malu.

“Bolehkah saya singgah?”

“Menurut, Kangmas?”

“Tentu boleh.”

Perempuan itu hanya tersenyum. Kemudian dia pun membuka pintu.

Pertama adalah senyuman. Lalu pandangan penuh arti dengan tatapan yang dipenuhi janji-janji. Kemudian ....

Huh. Setiap hari ia harus menyaksikan ini.

Dadanya sesak. Apalagi perkataan ibunya kemarin lalu, “Ingat Nduk, Ibu tidak akan memaksamu … kamu cukup pintar untuk memilih jalan hidupmu.”

Dia terdiam lama. Ada yang meronta di dadanya. Gemuruh angina yang menderu-deru. Dipandangnya sang Ibu.

“Kenapa Bu?” selalu ia bertanya dengan diksi yang itu-itu juga. Seolah tidak pernah bosan. Tidak pernah lelah. Tidak pernah jengah.

“Karena kamu juga perempuan, Nduk!”

Ah!
Perempuan.
Etalase perempuan. 

Demikian kakak mahasiswa menyebut tempat itu. Dia melihat kakak-kakak itu dengan kikuk membawa tape recorder mini, berkas-berkas yang begitu banyak sembari sibuk mewawancarai perempuan-perempuan di situ.

Sebuah gaun tipis berwarna hijau menyala dengan tali-tali kecil telah diletakkan ibunya di atas dipan.

“Ada seorang lelaki, dia menyukaimu ... dia pernah mengantar ayahnya yang seorang pejabat beberapa waktu lalu. Ia melihatmu pulang dari sekolah, dia tertarik padamu, Nduk.” 

Dia berusaha memahami jalan pikiran ibunya.

“Belajarlah menjadi perempuan, Nduk …”

Tentu saja dia harus belajar.

Dia mengambil gaun itu. Meletakkan diatas tubuhnya yang ramping.

Aku seperti tidak mengenakan apa-apa.
Ia membisiki dirinya.
Bagaimana bisa mereka bisa membuat gaun setipis ini?
TOK-TOK-TOK
Nduk, sudah siap?” suara sang ibu dari balik pintu.

Tak bergeming ditatapnya sosok asing di depan cermin.
Siapa kamu?

Kembali dibisiki dirinya. 

Nduk … cepat ya! Tamu kamu sudah lama menunggu ...”

Apakah kamu seorang perempuan?
Ia mengangguk ragu.

Kamu akan bersama mereka didalam etalase itu? 
Ia tercenung. 

Kamu bersedia jadi manekin hidup?

Ia masih juga bingung.
Jarum berdetak. Dia merasa terpojok. Aku tak bisa bernapas, tolong aku. Ia merasa pusing.

“Suruh dia masuk, Bu!” akhirnya ia mengucapkan kalimat itu.

Pintu terbuka. Seorang lelaki muda muncul dengan wajah cerah. Bersih dan terpelajar. Penuh kebingungan lelaki itu memutar pandangan di kamar yang berukuran tak lebih dari 4X3 meter tersebut.

“Kamu mencariku?”

Dia telah berdiri dengan tiba-tiba dihadapannya.

“Ya, aku mencarimu!” jawabnya sedikit kaget. Dia memandangi sosok gadis yang telah mengganggu malam-malamnya, dan mimpi-mimpinya.

“Tidak, kamu tidak mencariku”

“Maksudmu?”

Gadis itu terdiam beberapa detik. Seperti mengumpulkan sebuah kekuatan.

“Jika memang kamu mencariku, tinggalkan aku sendiri. Pergilah!”

“Apakah uang itu terlalu sedikit buatmu?” tanya nya dengan nada heran pada gadis dihadapannya. Gadis itu menggeleng.

“Kau ingin aku membelikan banyak hadiah untukmu?”

Gadis itu kembali menggeleng. Menatapnya dengan tajam, kemudian berjalan menuju pintu.

“Biarkan aku menjadi perempuan …” jawabnya. Tangannya menggapai pintu. Sedikit terkuak.

“Silahkan!” katanya kemudian.

“Aku diusir?” bisik lelaki itu tak mengerti.

“Yang kamu temui saat ini adalah manekin hidup penghias etalase Dolly. Jika kamu ingin menemuiku. Bukan dengan cara ini.”

Lelaki itu mengulum senyum.

“Kenapa kamu lakukan ini gadis kecil?”

“Aku bukan penjaja cinta.”

“Ya, kamu masih sekolah. Aku tahu itu.”

Lelaki tolol. Kau belum mengerti juga. Aku bisa menebak, kau pun tidak akan pernah tahu bagaimana menghargai perempuan.

“Tapi mengapa?” dia masih juga bertanya.

“Karena aku perempuan!” jawabnya pendek seraya menutup pintu.

Hari sudah mulai gelap. 

Di luar sana semakin ramai, suara-suara manja dan mendesah. Bercampur dengan suara lelaki hidung belang. 

Sebuah bursa perempuan. Itu sebutan sang Ibu. Ah, dia tidak akan setuju dengan sebutan itu. Mereka belum menjadi perempuan, tapi hanya manekin hidup.

Malam semakin merambat. Azan Isya dari musala lengang semakin kontras bercampur dengan suara-suara malam di daerah Dolly yang makin menggila. Makin gelap. Makin pekat. Tapi, tidak dengan hatinya. [PRM]
                                                      
                                                              
(Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Sabili, tahun 2007 dengan judul, "Karena Aku Perempuan").

 

Komentar

Postingan Populer