Petualangan Bocah Muslim di Negeri James Bond (Imran Ahmad)


Kisah hikmah akan melembutkan hati. Saya menulis kisah-kisah nyata berhikmah ini untuk cermin, dan upaya kita membangun kesadaran dari dalam diri. Melalui nurani.

Masyarakat Kelas Tujuh
Udara di London ternyata jauh berbeda dengan tempat asalnya—Karachi, Pakistan. Sedari tadi bocah mungil berusia 6 tahun itu tampak menggigil kedinginan. Rasanya tidak enak untuk tinggal di sebuah kos, yang harus menyembunyikan dirinya setiap saat.

Sebenarnya ia menyadari bahwa ayah dan ibunya, sudah berusaha keras mendapatkan tempat yang nyaman di sebuah rumah di London. Namun, rupanya orang-orang seperti dirinya menjadi kelas kesekian di kota yang katanya menjunjung tinggi demokrasi ini.


Imran Ahmad—nama bocah itu, sudah lama tinggal di Inggris. Mereka pertama kali menginjakkan kaki di Menchester. Tidak berselang waktu yang lama, orang tuanya mendapatkan rumah kontrakan. Sebuah terraced house milik warga setempet. Rumah dempet—begitu ia menyebut—itu sangat unik, dan lumayan untuk keluarga kecil mereka.
Orang tua Imran, adalah seorang pendidik profesional di negerinya, Pakistan. Tetapi, begitu tiba di Inggris, mereka hanya mendapatkan pekerjaan kasar kelas rendahan. Hal yang tentunya jauh berbeda dengan negeri asalnya.

Di Pakistan, kedua orang tua Imran merupakan kalangan kelas menengah. Saat itu, Inggris mengupayakan adanya imigrasi besar-besaran dari negara-negara persemakmuran—termasuk Pakistan, ke dalam negaranya. Kedua orang tua Imran rupanya tergiur dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Inggris.

Mereka menginjakkan kaki pertama di Menchester, kemudian menyewa rumah dempet itu. Rumah itu, ternyata tidak memiliki perabot yang berarti. Sehingga Ahmad memutuskan untuk membeli beraneka ragam perabot agar keluarganya menjadi lebih nyaman dari sebelumnya.
Setelah aneka macam perabot rumah tangga lengkap, mereka sangat bersyukur karena menjadi imigran di Inggris bukanlah hal yang menyulitkan. Setidaknya hingga sepucuk surat dari pengacara mengacaukan dunia mereka.
Ternyata, induk semang mereka bukanlah pemilik rumah dempet itu. Melainkan hanyalah pengontrak. Sang pemilik yang asli melayangkan gugatan agar keluarga Imran keluar dari rumah itu. Rupanya ia sangat tidak menyukai ada orang Pakistan di sana.
Dengan putus asa dan tidak mengenal siapapun. Imran dan keluarganya harus keluar dari rumah tersebut, sekaligus meninggalkan berbagai macam perabot di dalamnya. Dalam keadaan kantong yang semakin mengempes.
Ibunya berjalan dengan tungkai kaku kemudian memandang sang Ayah, “Ya, Allah. ternyata sulit sekali hidup di sini. Kita sudah sepenuhnya mempercayai orang tersebut. Ternyata mereka bertindak sebaliknya.”
Ahmad menyadari bahwa sang istri bisa saja depresi jika tidak ditanggapi.
“Sayang, bersabarlah. Orang-orang yang hijrah itu membutuhkan kesabaran. Pahalanya pasti besar.” Katanya.

Tapi suara itu malah menggantung di langit-langit Menchester, meninggalkan kenangan yang buruk.


Mereka kemudian memutuskan untuk melangkahkan kaki mencari rumah kontrakan lainnya. Tapi, sepertinya itu mustahil. Saat itu, masyarakat Inggris sepertinya sudah memiliki sebuah sistem kelas.

Sistem kelas yang membuat bocah cilik Imran ingin mengajukan disertasi S3 untuk menelitinya. 


Kelas masyarakat di Inggris terbagi sebagai berikut. 

1.Keluarga kerajaan
2.Kaum aristokrat
3.Kelas atas
4.Kelas menengah
5.Kelas pekerja kulit putih
6.Bangsa Irlandia
7.Orang-orang kulit berwarna
Jika dirinya seorang anggota keluarga kerajaan tentunya tidak sulit untuk menemukan sebuah istana bergaya klasik bak di negeri dongeng untuk menampung seluruh anggota keluarganya. Ayah, ibu, dan adiknya. Tetapi, yang ada dirinya ada di kasta dasar dari kelas tidak tertulis itu.
Imran kecil bisa membayangkan betapa sulit bagi keluarga mereka untuk hidup normal di negeri James Bond ini. Tentu menjadi kalangan dasar di sebuah masyarakat yang tidak ramah sangat tidak nyaman. Apalagi sebenarnya keluarga mereka merupakan kalangan menengah di Pakistan.
Seringkali tanpa diduga, diskriminasi dan intimidasi dirasakan. Sungguh berat untuk hidup di London untuk imigran seperti keluarganya. Sekarang, dengan dompet yang semakin tipis, ia dan keluarganya terseok-seok menyusuri jalanan di Fulham. Hingga kemudian akhirnya mereka menemukan sebuah tempat kos.
Saat itu kehidupan mereka adalah dari tempat kos satu ke tempat kos lainnya. Rasanya tidak menyenangkan menghadapi berbagai macam kebencian, dan pandangan merendahkan dari lingkungan.
Yang dimaksud dengan tempat kos di saat itu, adalah sebuah rumah yang dihuni oleh beberapa orang, hanya kamar satu-satunya tempat privasi. Sementara dapur, kamar mandi, ruang keluarga akan digunakan beramai-ramai.
Uniknya tempat kos itu mengharuskan dirinya dan keluarganya untuk pergi “jalan-jalan ke taman” setiap Jum’at pagi. Selidik punya selidik ternyata pemilik asli dari rumah kos itu akan datang dan memeriksa. Sementara Imran dan keluarganya hanya menyewa dari penghuni kos di sana. Tidak lama kemudian, sang pemilik tahu dan akhirnya mereka sekeluarga di usir sedemikian rupa.
Memang tidak menyenangkan mengawali hidup di luar negeri dengan cara terlunta-lunta seperti itu. Hingga akhirnya keluarga Imran mendapatkan sebuah kontrakan yang layak di daerah Fulham. Kontrakan itu berlantai 3, dan mereka menempati lantai teratas. Walaupun sedikit sempit, namun hal ini adalah sesuatu yang luar biasa bagi mereka.
Sebab, ketika mencari kontrakan sering terpasang tulisan “Maaf tidak menerima kulit berwarna” atau “Maaf tidak menerima kulit berwarna dan bayi” begitu seterusnya. Rasanya untuk bisa bertahan di London dengan kontrakan yang seperti itu adalah hal yang luar biasa.
Dilarang Makan Spam
Saat Imran sudah memasuki usia sekolah dasar, orang tuanya berhasil membeli sebuah rumah yang cukup cantik di pinggiran London. Rumah itu memang tidak terlalu besar, namun cukup panjang dan beberapa ruang di dalamnya dapat dijadikan tempat untuk kos imigran. Beberapa waktu kemudian, Imran kecil pun akhirnya akrab dengan kedatangan berbagai macam imigran seperti dirinya orang China, Nigeria, Pakistan, ataupun Irak.
Tetakos sepi, kedatangan orang-orang ini sama sekali tidak mengganggu Imran dan keluarganya. Ruang untuk keluarga mereka sudah sangat lebih dari cukup, dibandingkan dengan tempat kos sebelumnya.
Pagi itu, adalah hari pertama Imran datang ke sebuah sekolah dasar di daerah Hotham Putney. Hal yang sangat menyenangkan. Sebagai seorang pendatang tinggal dan dapat bercengkrama dengan teman-temannya adalah hal yang luar biasa. 

“Hai, namamu siapa?” Sapa seorang bocah berambut pirang. 
“Aku?” Sahut Imran. 
“Iya, kamu,” kata temannya tidak sabaran. 
“Imran Ahmad.” Jawabanya. 
“Namamu aneh,” komentar bocah bermata biru itu. Menatap Imran dan kemudian memandangnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. 
“Kenapa aneh? Aku tidak merasa aneh sedikit pun.” 
“Mungkin kamu orang Asia ya?”
“Keluargaku ada yang tinggal di Karachi.”
“Karachi itu dimana?” Celotehnya khas bocah. 
“Hah? Kamu tidak tahu di mana Karachi? Ya, Tuhan.” Sahut Imran spontan. Mimiknya lucu dan tidak dibuat-buat. Si pirang terlihat juga kaget. 
“Itu tempat apa?”
“Itu kota, kota asal keluargaku. Karachi itu di Pakistan.”
“Ya, Tuhan. Baru tahu aku.”
Anak-anak adalah cermin kepolosan, bahkan saat kulit dan rasa membedakan. 
Saat di kantin, Imran bersama teman-teman barunya nampak asyik menghabiskan menu makan siang mereka. Sang teman membawa sebuah burger besar, dan kaleng bertuliskan ham.
“Apa itu?” Tanya Imran ingin tahu. Ia memandang teman-teman membelalakkan mata. 
“Ya, Tuhan. Kamu tidak tahu ya, Imran?”
“Hai, kamu ini orang planet mana?”
“Mau makan ham?”
Imran nampak kebingungan. Ia merasa tidak perlu memakan daging di dalam kaleng itu jadi ia memutuskan untuk menolak tawaran teman-temannya. 
Sekembalinya dari sekolah, saat makan siang, Imran bertanya pada ibunya.
“Aku tadi ditawari teman Spam, apa itu enak ya, Bu?”
Sang ibu nampak kaget kemudian berlutut dan memandang mata Imran. 
“Ham, bukan Spam. Sayang, kita tidak makan Spam.”
"Tapi kenapa? Sepertinya enak. Temanku sampai makan banyak.”
Sang ibu tersenyum kemudian berkata, “Kita ini muslim sayang, jadi kita tidak makan daging babi.”

“Ohya? Begitu ya, Bu.”

“Iya.”
Sejak saat itu, Imran kecil mulai menyadari bahwa ada perbedaan antara dirinya dan teman-temannya. Ia mulai sedikit demi sedikit mencari tahu apa Islam itu. Kenapa dia tidak boleh makan babi? Atau harus shalat Jum’at di masjid, walaupun tempat yang dikatakan masjid itu hanyalah sebuah rumah bertingkat dengan gaya Victoria dan lantai kayu dari pohon ek.
Imran mengamati bahwa sang ayah lebih cenderung mengambil hari liburnya di hari Jumat. Mungkin karena sang ayah ingin banyak beribadah. Ia jadi semakin tahu kenapa dirinya berbeda dengan teman-teman lainnya.
Keteguhan Imran kecil dapat dilihat dari undangan minum teh. Orang Inggris sangat menyukai teh. Mereka biasa mengadakan jamuan minum teh di sore hari. Saat itu, Imran kecil menatap hidangan di hadapannya. Kudapan yang dihidangkan adalah sosis goreng. Teh mengepul menyebarkan bau wangi. Imran menyukai cara orang  Inggris mencintai teh.
“Apa sosis ini dari daging babi?” Katanya dengan mimik serius. 
Sang teman tidak menjawab. Namun ibu temannya itu menjawab, “Iya, Sayang. Itu sosis daging babi.”
“Sayang sekali, tapi saya tidak makan daging babi.” Kata Imran cepat dengan nada prihatin. 
“Tidak apa-apa.”
“Lho kenapa kamu tidak makan babi, Imran.” Tanya Adam—temannya. 

Sebelum Imran sempat menjawab, ibu Adam berkomentar, “Itu karena agamanya, Adam. Agamanya melarangnya untuk mengkonsumsi daging babi.”

Kemudian sang nyonya rumah masuk ke dalam dan menggoreng telur untuknya. 
Saat Imran memasuki sekolah menengah, ia tertarik dalam bidang sains dan berkeinginan untuk mendalaminya secara serius.
Memoar yang Menyentuh Jutaan Pembaca
Masa kecil Imran Ahmad yang menyentuh ini ditulisnya di dalam bahasa Inggris dalam sebuah buku bertajuk The Perfect Gentleman. Memoar masa kecilnya ini mampu memberikan pengaruh di Barat. Inggris, dan Amerika adalah dua negara yang paling banyak memberikan respon terhadap memoar masa kecilnya ini.
Saat Imran Ahmad dewasa, ia belajar di Stirling University , Skotlandia. Untuk memperdalam Kimia, belajar banyak tentang Islam, dan berusaha untuk mengesankan orang tuanya. Akhirnya dia cukup sukses dalam Kimia dan memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang Islam.
Imran kemudian melanjutkan kuliahnya untuk mendapatkan gelar Ph.D di bidang Kimia, Imran menyadari bahwa ada lebih banyak ilmu di dalam tabung-tabung reaksi di laboratorium. Hal ini terjadi karena ia menghabiskan terlalu banyak waktu menatap keluar jendela, melihat apa yang orang lain lakukan.
Ia sukses dengan karir dan kuliahnya. Secara mendalam juga mengenalkan Islam kepada Barat. Apalagi saat terjadi peledakan WTC pada 11 September 2002 di Amerika. Ia merasa bukan muslim yang melakukan hal itu. Ia melihat sebuah konspirasi global. Bagaimanapun ia tidak bisa menjelaskan selain mengenalkan memoarnya kepada masyarakat Barat. Dan berhasil.
Dia membujuk salah satu perusahaan global besar untuk mempekerjakan nya ke manajemen pembangunan di London. Karir Imran dimulai pada bidang keuangan dan dialihkan ke Sistem Informasi. Untungnya, tidak ada yang menyadari bahwa dia tahu sedikit tentang komputer. Dia juga seorang akuntan yang berkualitas, tetapi ia memilih untuk tidak membicarakan hal ini.
Karier bisnis Imran telah membawanya di seluruh dunia, dan ia menghabiskan lima tahun tinggal di Minneapolis Amerika Serikat, menjadi seorang manajer senior di salah satu perusahaan konsultan global 'Big Five'.
Pada tahun 2000, posisi baru dengan General Electric membawa Imran kembali ke London, di mana dia telah sejak bekerja, sering melakukan perjalanan mulus antara Eropa, Amerika Serikat dan India.  
Imran suka minum kopi di Starbucks dan kadang-kadang (ketika dia benar-benar beruntung) ia dapat ditemukan di Appalachian Trail di suatu tempat antara Georgia dan Connecticut, atau di sebuah gunung di Skotlandia.

Dia juga menikmati membaca, musik, dan berjalan di sekitar kota-kota baik aneh dan akrab. Imran adalah seorang pemberontak sosial, ia membuka jendela ketika di kereta komuter London.

Memoar Imran, membuatnya terkenal sebagai muslim yang cukup sukses di dunia Barat. Semoga saja Allah melindunginya, dan memberikan segenap pemahaman terbaik mengenai Islam. Tidak mudah memang hidup di negeri non muslim. Tapi muslim yang baik akan selalu menyebarkan aroma wangi, di manapun ia berada. []

Komentar

Postingan Populer