Ketika Suami Telah Tiada



Apalagi, kepergian suaminya tidak dikarenakan sebab sakit, ataupun hal-hal yang bisa diprediksi sebelumnya. Hanya karena kecelakaan kecil di rumah, dan sekian menit yang singkat itu merubah hidup sahabat saya selamanya. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. 


1 Muharram 1437 H kemarin, saya bertakziah ke rumah sahabat yang sedang berduka. Suaminya meninggal mendadak dalam sebuah kecelakaan kecil di rumahnya. Ah, tak bisa saya bayangkan bagaimana rasanya ditinggal belahan hati, sekaligus ayah dari dua putranya yang masih kecil-kecil. Rasanya mungkin remuk. Mungkin pula sedih tak terkata.


Kesedihan melahirkan kekuatan 


Apalagi, kepergian suaminya tidak dikarenakan sebab sakit, ataupun hal-hal yang bisa diprediksi sebelumnya. Hanya karena kecelakaan kecil di rumah, dan sekian menit yang singkat itu merubah hidup sahabat saya selamanya. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.


Namun, alangkah kagetnya saya dengan reaksi sahabat kami ini. Dia begitu tegar, begitu sabar, dan sangat lapang dada. Masih ada bekas tangisan di wajahnya, namun saya tak menemukan raut protes kepada Allah. Saya merasa sahabat saya ini telah melepas kepergian suaminya dengan ikhlas. Walau berat semua harus dijalaninya dengan tegar.

Masa Iddah 4 Bulan 10 Hari
Rasa duka yang dalam pasti dirasakan siapapun yang ditinggal selamanya oleh orang-orang terkasih. Apalagi jika kepergian itu, begitu tiba-tiba. Hal itu pula yang pernah saya rasakan 9 tahun lalu, saat Ibunda saya menghadap Allah dengan sangat cepat.

Ibunda saya tak pernah sakit keras. Tidak pernah merasakan opname pula. Hanya sakit biasa yang nantinya sembuh dengan terapi dari dokter dan terapi alami. Tapi, 3 hari yang singkat itu telah merenggut Ibunda saya dan membuat kami anak-anaknya bergelimang duka.

Begitu berat. Karena saat itu saya masih sendiri. Aktivitas harian saya adalah bekerja, dan berorganisasi nirlaba pada sebuah LSM remaja. Tak pernah ada bayangan di benak saya, ketika menikah nanti Ibunda saya tak ada.

Bahkan, kala itu saya sempat menyatakan keinginan untuk menikah dengan sederhana pada Ibunda saya. “Buk, kalau nanti aku menikah nggak perlu rame-rame ya. Cukup pengajian, akad, walimah saja, di rumah. Nggak perlu dirayain gede. Biar khusyuk. Nggak hingar-bingar.”

Saya mencintai kesunyian. Sebab itu mungkin saya rajin update twitter tapi agak jarang untuk membuat status di fesbuk. Hehe. Ibunda saya pun mengiyakan. Seulas senyum menghias wajahnya.

Namun, kemudian disebabkan sakit panas beberapa hari, beliau pergi selamanya ke hadirat Allah. Rasanya sangat berat berduka ketika itu. Jauh melebihi saat Ayahanda kami dipanggil Allah tahun ini. Mungkin juga kesiapan psikologis kami berbeda. Setelah Ibunda tiada, maka mau tak mau kami harus siap dengan segala takdir dari Allah. Allahummaghfirlahuma warhamhuma kama rabbayaana shighaaraa …..
Sedangkan sahabat saya?

Ah, tak bisa saya bayangkan bagaimana dukanya. Dua anak yang masih begitu kecil, dan kepergian suami yang begitu mendadak. Mungkin sudah jelas akan meninggalkan luka dalam yang akan sembuh dalam jangka waktu yang lama. Tapi, subhanallah. Ketegarannya begitu luar biasa. Sampai, saya dan sahabat-sahabat yang sama-sama bertakziah kemarin ke rumahnya, takjub luar biasa.

Syariat Islam memberikan masa berduka untuk para istri yang suaminya meninggal adalah selama 4 bulan 10 hari. Masa berduka itu disebut sebagai masa iddah.

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat. [QS. Al-Baqarah [2]: 234)

Sedangkan bila istri yang suaminya meninggal, dan dia dalam keadaan hamil, maka iddahnya adalah sampai melahirkan.

“Dan bagi perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [QS. Ath-Thalaq [65]:4].

Masa iddah ini bermanfaat untuk memastikan apakah seorang istri sedang hami ataukah tidak, sehingga nasab dari bayi (apabila sedang hamil) yang sedang dikandungnya jelas. Masa iddah juga menunjukkan betapa agungnya syariat Islam dengan menjunjung tinggi nilai pernikahan.
Pada masa iddah, seorang perempuan dilarang untuk keluar rumah (kecuali ada keadaan yang darurat), bersolek, dan juga menerima khitbah (pinangan).

Masa iddah, seharusnya menjadi sebuah masa berduka dan masa menenangkan diri, sehingga kesucian dan keagungan perempuan terjaga dengan baik.

Tegar Menghadapi Duka yang Dalam
Islam tidak memandang pernikahan sebagai urusan sepele, sebab itu syariat Islam mengaturnya dengan sangat baik. Begitu pun dalam masa berduka. Istri yang ditinggal oleh suami diberi hak untuk mendapatkan warisan harta dan tempat tinggal suami, juga seharusnya mendapatkan nafkah dari ayah suami yang meninggal (jika masih ada), ataupun adik dan kakak lak-laki dari suami yang meninggal tersebut.

Jadi, istri tidak pernah diberi kewajiban untuk memberi nafkah bagi anak-anaknya. Namun, jika istri memberi nafkah anak-anaknya maka hal tersebut dinilai sebagai sedekah.
Berbeda dengan keadaan saat ini, yang sudah jauh dari tatanan Islam. Akibat ketidaktahuan, serta semangat kaum muslimin yang kurang ghirah dalam mempelajari fiqh. Sehingga, banyak perempuan single parent yang tidak mendapat hak nafkah untuk anak-anak mereka sehingga harus membanting tulang menghidupi anak-anaknya.[]

Komentar

Postingan Populer