Karena Mendoakan adalah Cara Paling Rahasia untuk Mencintai


Tapi, jendela kecilnya yang dihiasi kelambu tipis terkuak. Sepasang mata sebening berlian menusuk jantung Syamsidar. Itu adalah tatapan mata terindah yang pernah dirasakannya. 


Sepasang kaki jenjang terkulai layu di antara tiang-tiang penyangga jati. Menggantung canggung di atas lantai marmer yang dingin. Angin musim kemarau menampar daun jendela hingga menggelepar. Seutas tali dari selendang batik menyangga wajah cantik yang sudah tampak membiru. Seribu detik lalu kematian telah menjemputnya. 

Sehasta di sampingnya, seorang  lelaki dengan dada lebar dan alis rembulan, tergugu menangisi kekasihnya yang memilih pergi dengan cara mengenaskan. Ia mendekap erat kaki yang wangi itu ke dadanya. 

Ini bisa memalukan sebenarnya. Ia berkata dalam hati. 

Namun, matanya kembali dibanjiri air asin. Tubuhnya berguncang-guncang. Kemudian menggigil dengan hebat. 

Apa yang salah dengan semua ini? 

Lelaki beralis rembulan itu mencoba mengingat-ingat. Tapi, tubuh indah yang kini tampak kaku di pangkuannya itu semakin lama tampak semakin membeku. Lebih dingin dari hari-hari kemarin. Ketika wajah cantik itu masih memberikan senyuman sederhana yang memabukkan.  

Mungkin kekasihku ini hanya ingin beristirahat. 

Kembali lelaki beralis rembulan itu membanjiri pipinya yang tirus dengan air mata. Beberapa jenak berlalu. Raungannya mulai mereda. 

Dengan sangat hati-hati, ia meletakkan kekasihnya di atas ranjang. Kemudian menyelimutinya dengan Sutera China berwarna merah. Kemarin, di Pelabuhan Barus yang mulai sepi, ia membelinya dari seorang pedagang Tiongkok. Seharga satu setengah deureuham. Sama sekali tidak mahal. Ia bahkan tidak meminta uang kembalian. Hari itu adalah hari Jumat. Semua orang di Lobu Tua merayakannya dengan bersedekah. 

Selimut itu bermotif naga dengan sulaman benang emas menyolok. Warna merahlah yang membuatnya menjatuhkan pilihan untuk membawa selimut itu pulang. Kekasihnya menyukai warna merah. Awalnya, ia ingin memberikan hadiah ini pada kekasihnya. Ternyata, hal itu benar-benar terjadi. 

Sebuah ironi.

Ia mengambil lonceng kecil di samping tempat tidur. Tak lama kemudian, dua perempuan berkerudung sederhana, dengan baju kurung selutut, dan kain sarung ija panjang menghampirinya. 


000


Cinta memang bisa datang kapan saja dan tak mengenal kasta. 

Syamsidar tahu jika dirinya sebenarnya tak cukup pantas untuk memandang wajah bidadari yang konon berasal dari negeri nun jauh di seberang samudera. Namun, saat itu entah mengapa sebongkah kapur barus yang seharusnya dipanggulnya menuju kapal pedagang dari Alexandria, malah bertumpahan di jalanan pasar. 

Majikannya, seorang keturunan bangsawan dari Sumatra Weskust berkacak pinggang dengan angkuh. Memaki-makinya di tengah pasar. Mirip seperti anjing VOC yang dibawa pasukan kompeni yang sempat memporak-prandakan Lobu Tua. Menggonggong dan melolong-lolong. 

Syamsidar tak mendengarkan. Sebagai orang miskin ia cukup tahu diri untuk tidak bertingkah di sini. Segera saja ia menunduk untuk mengumpulkan bongkahan kapur barus yang berserakan di jalan. Mengumpulkannya di keranjang bambu. Namun, rombongan berkuda dari keluarga Kesultanan Aceh Darussalam membuatnya terkesima. Dokar yang mirip kereta kencana itu tertutup rapat. 

Tapi, jendela kecilnya yang dihiasi kelambu tipis terkuak. Sepasang mata sebening berlian menusuk jantung Syamsidar. Itu adalah tatapan mata terindah yang pernah dirasakannya. 

Hanya sekali itu ia memandang wajah istri Panglima Lobu Tua. Namun sialnya, saat itu juga ia jatuh cinta. Syamsidar tahu ini adalah cinta konyol dan tidak masuk akal. Ia berusaha melupakan. Tapi tak bisa. Apalagi beberapa kali nama istri Panglima Lobu Tua disebut-sebut oleh para penghuni pasar. Sepanjang hari. Setiap saat. Seperti hari ini. 

“Tak tahukah kau ni, istri Panglima Lobu Tua yang cantik dan ranum tu sudah mati. Kemarin katanyo. Tapi, tidak dikubur-kubur hingga sekarang. Ado apo sebenarnyo?” 

“Mungkin, istri Panglima Nuruddin Syah ni, diracun sama kompeni.”

“Katanya sih, sakit begitu.”

“Ah, omong kosong. Panglima kita ni malu lah kalau istrinya mati diracun VOC.”

"Tahulah awak. Tak paham apapun di sini!"

Syamsidar tak percaya. Ia masih merasakan cinta dari sepasang mata berlian itu. Cinta yang hangat dan menenteramkan. Kekasih hatinya itu pasti masih hidup. 

Sudah lama dirinya memendam rasa ini. Berbulan-bulan ia setia bekerja sebagai kuli panggul di pasar dekat Pelabuhan Barus, hanya untuk menunggu kereta kencana Istri Panglima Lobu Tua. 

Sebenarnya, Syamsidar adalah pengrajin ukiran. Tangannya yang berotot sangat cekatan. Mengukir kayu dengan detil-detil rumit. Ada banyak kerajinan di bengkelnya. Namun sayang, ia kehabisan deureuham dan bangkrut. 

Untuk menyambung hidup. Lelaki bertubuh kecil itu memilih menjadi kuli panggul. Hingga ia bisa mengumpulkan deureuham kembali untuk membeli kayu dan menyulapnya menjadi kerajinan yang indah. 


000


Lelaki beralis rembulan itu memerintahkan bawahannya untuk mencari kapur barus terbaik di Lobu Tua. Ia tak mungkin menyolati jenazah kekasihnya dengan persiapan seadanya. Ia menginginkan semua sempurna, agar doa yang dipanjatkan penduduk Lobu Tua mengangkasa. Supaya kekasihnya bisa menghadapi hisab dengan mudah. Kemudian masuk surga dan beristirahat dengan tenang.

"Aku tak tahan dengan rasa di perutku ini. Seperti terbakar," gumam kekasihnya kala itu.

Wajah perempuan cantik itu telah sepucat kapas saat ia menjenguknya di bilik utama. Walau tak ditemukan setetes air mata di pipinya. Tapi, ia tahu. Kekasihnya itu sedang sangat menderita.

Apa benar kekasihku ini bunuh diri? 

Jika benar, bagaimana nasibnya nanti di depan Raqib dan Atid? 

Lelaki beralis rembulan itu mengepalkan tangannya dengan kuat. Sekujur tubuhnya merinding. Wajahnya yang tampan menggeleng lemah. Perlahan, matanya berkaca-kaca. Membayangkan apa yang nanti ditemukan kekasihnya di akhirat. 

Shalat jenazah ini haruslah menjadi doa yang paling dahsyat untuk Raemawasti. 

Kapur barus, serbuk cendana, minyak zakfaran, kain kafan, keranda, dan nisan haruslah yang terbaik. Itulah mengapa hingga hari kedua, jenazah kekasihnya belum kunjung dirawat. Masih tergolek kaku di atas ranjang.  

“Kami sudah dapat kapur barusnya, Tuanku Panglima.”

“Minyak zakfaran asli dari India sudah disiapkan.”

“Serbuk cendana nomor satu telah siap.”

“Kain kafan dengan tenun halus ini kami dapat dari pedagang Maghribi.”

“Keranda ini baru kami ambil dari toko.”

“Kapur barus dengan wangi terlembut, dan butiran yang halus telah siap, Tuanku Panglima.”

"Nisan batu bertulis syair Arab sudah kami siapkan, Paduka Tuanku."

Lelaki beralis rembulan itu tersenyum tipis. Tuntas sudah. Ia mengkomando sepuluh perempuan untuk menyiapkan acara pemandian jenazah. Ia sendiri nanti yang akan memangku tubuh kekasihnya. Tak mungkin ia meletakkan tubuh indah itu di atas pelepah pisang. 


000


“Awak ni harus bantu aku,” Syamsidar menggosok pipinya yang hitam. Matanya mengerjap gelisah. Sedari tadi lelaki itu mondar-mandir di depan rumah reyot milik temannya yang berprofesi sebagai marbot masjid Lobu Tua. 

“Apa perlu kau bertemu dengan jenazah istri Tuanku Panglima Lobu Tua? Kau dah lihat dia di pasar,” sang sahabat mengernyitkan dahinya, “janganlah jadi gila. Tak perlu lah, tingkah macam-macam seperti itu.”

Mata Syamsidar membara, “Aku cuma ingin lihat wajahnya. Sudah lupa aku wajah kekasih hati. Lagi pula, cuma sekali aku ketemu dia. Ini buat yang terakhir kali.”

Sang marbot melengos, “Terus mau kau buat apa?”

“Aku mau bikin patung dia. Itu saja. Aku mau memandangi wajah cantik, dan mata berliannya.”

Sinting. 

Rasanya, sang marbot ingin mencaci maki Syamsidar. Tapi diurungkannya hal itu. Lelaki kecil di depannya sekarang sedang berduka dan patah hati. Bisa saja Syamsidar berbuat nekat. 

Sang marbot terdiam. Berpikir lama. Istrinya memang sehari-hari bekerja untuk keluarga Panglima Nuruddin Syah. Satu-satunya akses untuk menembus penjagaan di sekitar istana kecil nan sederhana itu. Rasa-rasanya sahabatnya ini sudah linglung. Untuk apa melihat wajah jenazah yang akan dikuburkan? 

Esok hari jenazah itu akan dishalatkan di Masjid Agung Lobu Tua. Konon, ini adalah shalat jenazah terbesar yang pernah diselengggarakan di sana. 

“Baiklah. Engkau bisa melihat pujaan hatimu itu. Tapi, hati-hati.”


000


Selepas Isyak, Syamsidar mengendap-endap di dalam istana kecil Panglima Lobu Tua. Masuk ke koridor-koridor, dan akhirnya menemukan kamar kekasih hatinya. Syamsidar yang ditemani istri sang marbot seketika itu terkesiap. 

Jantungnya tiba-tiba ingin berloncatan keluar. Tangannya gemetaran. Sementara itu, dia juga merasa pipinya menghangat. Mimpinya sepertinya akan menjadi nyata. 

“Jangan lama-lama. Nanti penjaga tahu, mampus kau!” hardik istri marbot mengingatkan. 

Syamsidar mengangguk. Masih kesulitan bicara. Rasanya tubuhnya limbung, tak kuat menginjak bumi. Ternyata bertemu pujaan hati itu, rasanya seperti ini. 

Dalam temaram sinar purnama, Syamsidar melihat sesosok tubuh terbaring kaku di atas ranjang berukir. Kekasih hatinya ini sudah mengenakan kafan. Namun wajah cantiknya masih terlihat. Terpahat laksana patung terindah. 

Syamsidar mendekat. 

Di luar kamar, Istri Marbot beberapa kali mengingatkan. Tetapi, Syamsidar sudah benar-benar mabuk. Ia terpesona dengan kecantikan Istri Panglima Lobu Tua. Tak terasa air matanya meleleh. Menatap jasad tanpa nyawa di hadapannya. 

Pipi jenazah itu terasa membeku sekaligus lunak di tangan Syamsidar. Ah, tak sanggup rasanya membayangkan jasad seagung ini dikubur dalam lahat yang gelap dan pengap. 

Tangan Syamsidar mengulur. Digendongnya jasad Istri Panglima Perlak. Tubuh kecilnya ternyata sanggup melindungi jenazah itu. Jika dahulu ia tak bisa memiliki perempuan cantik ini. Maka sekarang tidak ada siapapun yang akan menghalangi cinta tulusnya. 

Syamsidar tersenyum lebar. Dadanya membuncah bahagia. Dipandanginya kembali wajah Istri Panglima Lobu Tua dengan hati berdebar. Kekasih hatinya ini masih terlihat begitu jelita. Dilepaskannya kain kafan yang menutupi rambut indah kekasih hatinya. Dengan sangat hati-hati. 

Ternyata, kekasihnya begitu memesona dengan rambut panjang bergelombang. Terjuntai hingga ke punggung. Lebat dan hitam sekelam malam. Syamsidar semakin takjub. 

Istri sang marbot membuka pintu bilik dan terperanjat menyaksikan pemandangan itu. Seketika itu ia berteriak. Namun, sebuah hantaman di kepalanya menghilangkan kesadarannya. 


000


Lelaki beralis rembulan itu telah mengundang semua ulama di Kesultanan Aceh Darussalam untuk hadir dan mendoakan kekasihnya. Secara khusus, ia memohon doa dari Yang Dipertuan Agung Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat. 

Dadanya mengembang saat Sang Sultan menyanggupi permintaanya. Tak hanya itu, ia meminta semua aktivitas di Lobu Tua dihentikan sejenak. Semua penduduk Lobu Tua dimintanya datang ke masjid agung. 

Shalat jenazah ini adalah hadiah terbesarku untuk Raemawasti.

Sedari Shubuh, lelaki beralis rembulan itu telah sibuk membenahi ini dan itu. Mengecek semua peralatan, mendengar laporan marbot masjid, dan menyimak laporan dayang-dayang istana. 

Kekasihnya akan dikubur di makam keluarga kesultanan. Di sepetak tanah di bawah pohon delima. 
Nisan batu dengan tulisan syair Arab dan doa, mungkin agak berlebihan. Tapi, tidak ada yang lebih jika cinta memanggilmu. Ia menatap dengan seksama batu nisan hitam berukir huruf-huruf Arab Khufi. Para perajin telah siang malam mengukir huruf-huruf indah ini dengan seni dan kecepatan tinggi. 

Al-mautu baabun wa kullun naasi daakhilah
Al-qabru baitun lirraahah
Aj'alallahu min riyaadhil janaan, wa askanahu kadzaa, azkaa firdausul janaan
Maqbaratu mamlikah al-adhimah raimawasti binti hamid binti binti sulaiman 
Baarus, yaumul jumu'ah, arrabi' khamsa asyara syakban, sanata alfu salasah miah wa isyruun hijriyah

Kuburan adalah tempat istirahat yang damai
Maut adalah pintu masuk yang dilewati setiap manusia
Semoga makam ini dijadikan Allah sebagai rumpun-rumpun bunga di surga, dan memperkenankan almarhum menjadi salah penghuni surga
Kuburan dari Puteri yang Agung Raemawasti binti Hamid binti Sulaiman
Barus, hari Jumat, empat belas Syakban, tahun 1320 hijriyah

Dengan wajah secerah mentari, lelaki beralis rembulan itu meminta asistennya menyiapkan bajeu mukasah dengan leher tinggi, celana cekak musang, kain sarung ija lamgugap, sebilah rencong, dan tutup kepala dililit tangkulok. 

Ini mungkin saat terakhir, aku melepas kekasihku di peristirahatannya yang abadi.

Ayat-ayat suci Al-Qur’an berkumandang sejak pagi di istana nan bersahaja. Riuh mendayu-dayu. Ada dua puluh satu qari terpilih yang dimintanya untuk membaca tilawah. Mendorong laju doa mengangkasa di penjuru langit. 

Lelaki beralis rembulan merasa ini adalah pagi yang paling syahdu dalam hidupnya. Sekaligus yang paling menenangkan. Sesaat berlalu dengan penuh hikmat. 

Seorang pengawal datang tergopoh-gopoh. Lelaki beralis rembulan itu maklum. Sudah masuk waktu Dhuha. Semua pengawalnya mungkin merasa tegang dengan seremonial ini. Selepas Zuhur nanti adalah saat terbaik untuk menyembahyangkan jenazah kekasihnya. Di masjid agung dengan ribuan jemaah. 

Sang Pengawal berdiri di depannya dengan wajah pias. Napasnya tampak tersengal-sengal. Bibirnya gemetar. 

“Panglima, ampuni sahaya. Jenazah Paduka Tuanku Raemawasti telah hilang!” [PRM]

^(Cerpen ini saya tulis di tahun 2015, selepas mendapatkan Beasiswa Akademi Menulis dari Penerbit Noura Books Jakarta  dan Antitesaantitesis. Betapa saya banyak belajar bersama Antitesaantitesis, Alhamdulillah.)

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer