Akhwat Matre? Ke Laut Aje!


Saya tersenyum membaca kalimat itu. Agak penasaran saya ingin tahu pengirimnya. Bukan nama sebenarnya. Nama samaran seperti kebanyakan pengirim pesan/ chat online, pada diskusi on air di radio tempat saya bekerja. Diskusi kali ini rada sengit, ada dua kubu yang terbelah dan saling adu kekuatan. Kubu teman-teman ikhwan versus kubu akhwat.

Emang kalo nanti merit cuma makan cinta? Makan tuh cinta! 

Nah kalo yang ini bunyi sms balasan setelah kalimat tadi saya bacakan. Tampaknya dua kubu ini sama-sama ngotot bahwa merekalah yang benar. Secara umum saya bisa menilai kalau teman-teman ikhwan rada takut menghadapi akhwat yang mereka beri label matre. Bahkan mungkin akhwat matrephobia. Hehehe. 

Menanam investasi.


Kubu akhwat  pun nggak kalah sengit dengan alasan logis ataupun mungkin saja memaksakan agar terkesan logis mereka berpendapat bahwa sebagai tulang punggung keluarga kaum ikhwan haruslah bisa memahami kalau akhwat  menuntut ini dan itu pada mereka. Sudah kewajiban. Tanggung jawab. Jangan sampai malah yang mencari nafkah kaum hawa. Sudah banyak yang terbalik. Jangan sampai hal ini juga ikut terjungkir gara-gara emansipasi. Wah!

Membicarakan masalah perlu tidaknya perempuan untuk menjadi matre memang menimbulkan debat berkepanjangan. Bayangan bahwa akhwat  matre adalah seorang akhwat  dengan mata hijau dan haus akan kartu kredit, ATM, diskon, belanja, dan mall segera membayang. Belum lagi rayuannya yang konon bisa membuat kantong ikhwan kosong. Saya saja ngeri membayangkannya apalagi teman-teman ikhwan ya? 

Ada cerita lucu dari salah seorang rekan kerja di radio saya. Dia berulang kali ganti pacar –karena memang dia penganut paham bebas berpacaran-, hanya dengan alasan selalu saja menemui cew3k matre. Begitu si cew3k  minta kaos misalnya. Maka tak lama kemudian cew3k  itu akan masuk “recycle mantan” baginya. 

Para “mantan” yang tidak suka dan sakit hati pun menjulukinya Mr. Kikir. Ada saja sms gelap dan telephon misterius ketika dia on air, "Mr. Kikir awas kau suatu ketika akan menjadi faqir!" 

Begitu kia-kira bunyi sms gelap itu.

Saya tidak ingin menjadikan kisah ini sebagai teladan. Hanya sebagai cermin saja. Bahwa ada kalanya harus bisa membedakan mana sosok matre dan mana yang hanya ingin diayomi dan dilindungi. Kalau pembahasan ini mungkin lebih pada terayomi secara ekonomi. 

Saya jadi teringat akan syarat yang diajukan teman akhwat ketika dia hendak taaruf. Bukan syarat seperti kebanyakan akhwat lainnya. Yang biasanya menggambarkan betapa pengertiannya dia nanti ketika menjadi istri. Syarat itu adalah bahwa si ikhwan setidaknya sudah bisa membawa slip gaji. Yah, slip gaji! Bayangkan! Saya saja tersenyum geli dan tidak habis pikir ketika itu. Tapi, teman saya mengatakan bahwa itu adalah syarat yang dapat membuat dirinya tentram dalam menerima pinangan. 

Bukan tidak ada ikhwan yang berslip gaji hanya mungkin agak sedikit saja. Akhirnya dia menemukan ikhwan itu. Dan tebakan saya benar, teman saya tadi tidak ingin bekerja. Dia full time menjadi ibu rumah tangga walau mengantongi ijazah S1 dengan IPK dan almamater istimewa.

Saya tidak dapat menyalahkan teman saya tadi, walau tidak bisa sepenuhnya mendukung sikapnya itu. Juga mungkin beberapa rekan yang mengajukan syarat yang sama. Bayangan akan ketakutan secara ekonomi memang banyak menghantui pikiran teman-teman perempuan. Seperti dalam diskusi on air ini. Topik ‘Akhwat Matre: Setujukah Kamu?’ Menjadi melebar ke sana-ke mari. 

Definisi sesungguhnya dari siapakah akhwat  matre menjadi ambigu. Para akhwat  seperti berdemo agar para ikhwan tidak menjadikan mereka wonder woman yang juga harus pusing mencari nafkah. 

Para ikhwan juga berusaha membela diri dan mengatakan bahwa mereka tidak akan menikah dengan akhwat  matre. Mereka akan mencari akhwat  baik-baik yang tulus dan bersedia menerima mereka apa adanya. Tepatnya disaat mereka berduit atau tidak. Karena jaman semakin susah. 

Tidak ada kalimat terakhir yang bisa saya rangkum dalam diskusi on air itu. Hanya saja saya menyelipkan kisah tentang Fatimah Az-Zahra Radhiyallahu Anha. yang demikian luar biasa dalam menerima suaminya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu. Putri Rasulullah saw itu dengan baju kumal menggiling gandum, menguleni adonan, mengangkat air, dan melakukan perkerjaan kasar lainnya. 

Namun rasa hormat dan cintanya tidak luntur terhadap sang suami. Tapi bukan berarti Fatimah tidak pernah mengeluh dengan keadaan itu. Suatu ketika beliau mengadu kepada Rasulullah saw. agar sekiranya sang ayah dapat mengirimkan pembantu untuk mengurangi bebannya itu. Tapi, bagaimana jawaban Rasulullah saw? 

“Bertasbihlah Fatimah itu akan lebih hebat dari apapun.” Masya Allah.

Tak lama kemudian sebuah pesan menginterupsi cerita saya.

"Saya ingin menjadi Fatimatuzzahra, tapi apakah kualitas para ikhwan tadi juga seperti Ali Radhiyallahu Anhu? Kadang memang untuk memacu mereka lebih giat mencari rezeki kita juga harus bersikap bahwa benar kita adalah tanggung jawab mereka. Kita butuh pada mereka. Kerja keras mereka."

Saya tercenung. Saya yakin pengirim sms ini bukanlah akhwat  matre. Anda juga bisa merasakannya bukan?

Wallahu a’lam bishshowab.

Komentar

Postingan Populer