Menikmati Indahnya Lantunan Adzan di Bumi Pertiwi


Sebagian pembaca mungkin sedikit heran dengan penulisan ‘adzan’ yang tidak sesuai dengan KBBI terbaru, yaitu ‘azan’. Bukan kenapa-kenapa sebenarnya, tapi saya lebih suka untuk menulis ‘adzan’ ketimbang ‘azan’. Anggap saja ini adalah selingkung dalam penulisan di blog-blog yang saya kelola. 

Baru-baru ini ‘adzan’ menjadi tren penelusuran (trending topic) di beberapa media konvensional baik cetak dan elektronik, juga pada media sosial. Tak kalah garang, media sosial yang memiliki ragam jurnalis mandiri—jika saya boleh katakan, karena semua orang bisa menulis dan memberitakan sesuatu tanpa harus peduli dan patuh pada kode etik jurnalisme. 

Hati kami tertaut dengan masjid.

Ada banyak pertentangan, sekaligus rasa duka cita. Kenapa lantunan adzan yang sudah ratusan tahun ada di bumi pertiwi ini mulai diusik-usik sebagai ‘polusi suara’. Menurut saya, adzan yang hanya berkumandang tidak lebih dari 3 menit ini sangatlah indah. Bukan karena saya seorang Muslimah. Tapi, memang demikian adanya. 

Rumah saya dikelilingi masjid di empat penjuru. Dekat dengan sebuah pesantren pula. Setiap kali memasuki waktu shalat, berkumandanglah adzan. Bersahut-sahutan. Belum lagi dari beberapa masjid lainnya. Terasa damai, tapi indah. 

Inilah alasan mengapa saya tidak begitu menyukai berwisata di tempat  yang jauh dari masjid. Setiap waktu shalat, akan kesulitan mengidentifikasi apakah sudah waktunya ataukah belum. Kok tidak kedengeran adzan? Rasanya begitu hampa. Hambar. 

Ternyata, saya mulai menikmati lantunan adzan ini sejak duduk di sebuah pesantren. Saat pertama kali masuk, saya kurang begitu akrab dengan suara murattal kecuali sebagai penanda waktu sebelum Shubuh telah tiba (saat dewasa kelak, rumah saya malah setiap hari saya setel murattal, saya pun jatuh cinta pada tilawah). Musala tempat kami beribadah akan menyetel dalam volume tinggi suara-suara murattal Al-Qur’an. 

Saya yang saat itu kurang lihai mengantri, sudah harus mandi sebelum Shubuh. Ketimbang nanti tidak kebagian kamar mandi. Itu saat saya duduk di sekolah menengah pertama dan menengah atas. 

Baru, kemudian adzan dilantunkan. Untuk adzan Shubuh, biasanya muadzinah yang mengumandangkan tidak begitu istimewa (suaranya). Berbeda dengan muadzinah saat shalat Maghrib dan Isya. Mengapa muadzinah? Karena pesantren ini khusus putri.

Saya sampai hafal dan mengenali siapa saja pemilik suara-suara merdu ini. Ciri khas adzan, cengkok, sekaligus bagaimana makharijal hurufnya. Dari hari ke hari. Semakin indah. 

Suatu ketika, saya pun ingin pula melantunkan adzan. Sayangnya, tidak begitu percaya diri. Di samping suara yang pas-pasan tidak bisa mencapai nada tinggi, juga tidak berani untuk mencoba. Haha. 

Jadilah, saya yang kemudian suatu hari menjadi anggota sie Dakwah di pesantren, menjadi tukang qamat dan sesekali menjadi imam. Khusus adzan saya serahkan pada kakak-kakak kelas dan teman yang kebetulan memiliki kemampuan mengumandangkannya dengan baik. 

Tapi pernah saya melantunkan adzan Shubuh. Karena muadzinah yang bertugas tidak kunjung datang, sedangkan waktu sudah semakin mendekati. Jadilah saya adzan. Itu juga karena banyak santri yang masih tidur. Jadilah saya pede. Haha.

Adzan begitu indah di telinga saya. Ada rasa haru saat lafal Allah dikumandangkan dengan demikian mulia. Untuk mencintainya tak perlu banyak alasan. Sebab bagaimanapun adzan, sekalipun dicerca dan dicaci maki tetaplah mulia. Setidaknya di hati saya. []

Komentar

Postingan Populer