Pengalaman Operasi Mencabut Geraham Bungsu dengan BPJS di RSUD Bangil

Pernah mendengar kalau sakit hati itu lebih sakit dari sakit gigi? Yah, begitulah fiksinya. Kenyataannya, siapapun tidak ingin sakit gigi. Rasanya tidak enak. Tapi, kalau mengeluh kadang ditertawakan. Serasa lucu. Sungguh, tidak mengenakkan. Hehe.


Awalnya, geraham bungsu kanan ini tidak terlalu menimbulkan masalah. Tapi, setelah beberapa waktu, rupanya si bungsu ini gerah. Posisinya yang tidak tumbuh sempurna karena tertutup gusi. Karena beberapa kali bengkak, maka saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke saudara yang kebetulan berprofesi sebagai dokter. 


Setelah beberapa saat diperiksa, si mbak dokter gigi yang cantik ini pun ngomong, "Ini impaksi, jadi harus dioperasi kecil, Mbak."

Saya yang memang sebelumnya sudah browsing, dan baca-baca pengalaman pencabutan gigi bungsu ini tidak terlalu kaget. 

Tapi, entah kenapa aura ruang praktik dokter gigi kok beda dengan hawa saat berselancar di ipad, ataupun laptop. Sebelumnya, saya suka geli baca-baca pengalaman teman-teman yang akan dan sudah dioperasi gigi bungsunya. Namun, kini kok rasanya seperti mendengar berita buruk. Jantung deg-degan asli. 

Sedangkan mbak dokter gigi ini juga sangat serius, "Kalau nggak dicabut berbahaya. Sakitnya bisa menjalar ke leher, telinga, ataupun kepala. Kadang sampai punggung." 
Haduh, ngeri Mak. 

"Dicabut di mana enaknya, Mbak?" kata saya datar. Sembari menyembunyikan rasa seram. 
"Mbak Rin ada BPJS?"
"Ada, Mbak. Tapi, nggak pernah kupakai. Sudah setahunan. Aktif karena kita sekeluarga bayar tiap bulan."
"Di mana faskes 1-nya?"
"Klink Ar-Rahmah Bangil, alun-alun itu lho Mbak," jawab saya. 
Mbak dokter yang cantik ini, yap mungkin ada banyak warga Bangil yang kenal, drg. Minni Rochaili inipun tersenyum lega. "Mbak Rin datang saja ke faskes 1, minta periksa ke dokter giginya, bilang kalau geraham bungsu kanan ini sakit. Nanti dokternya bakal memberi rujukan."

Di Faskes 1, Bertemu Dokter Keluarga
Karena saya tidak pernah menggunakan BPJS jadi masih bingung. Tapi, akhirnya saya pun datang ke klinik Ar-Rahmah Bangil. 

Lumayan cepat, tidak ada antrian di Poli Gigi. Saya membawa fotokopi kartu BPJS, yang nanti digunakan sebagai tiket masuk. Perawat mempersilakan saya masuk setelah memeriksa nama saya di internet. Mungkin memastikan apakah saya sudah bayar iuran BPJS atau belum. Hahaa. 

Yup, kalau di klinik ini memang dikenal disiplin perihal iuran BPJS. Kalau belum bayar, maka kemungkinan dokter tidak mau memeriksa. Ini menurut pengalaman beberapa teman. 
Saya pun melenggang masuk ke ruang periksa. Dokter yang memeriksa namanya drg. Dian N. Sari, beliau memersilakan saya duduk di kursi periksa gigi. 

"Yang sakit mananya, Mbak?" katanya. 
"Gigi geraham bungsu kanan bawah, Dok. Beberapa kali bengkak bulan ini. Sudah 2 kali." 
"Saya periksa dulu ya."
Saya membuka mulut lebar-lebar. Ini juga memerlukan latihan saudara. Agar dokter gigi tidak repot mengintruksikan kita miring ke mana.Hehe. 

"Giginya masih sakit?"
"Enggak, Dok. sudah seminggu lalu sakitnya." 
Yah, waktu sakit saya sampai nangis-nangis ngilu. Sama sekali mending sakit hati. Cuma dongkol saja, nggak pakai pening kepala. Itu lagu memang menyesatkan. 
"Ini juga sering berdarah ya?"
"Iya, Dok."
"Harus operasi kecil ya, di SPBM. Dokter gigi yang spesialis bedah mulut."
Saya manggut-manggut, lalu dokter Dian menulis surat rujukan. 
"Di rumah sakit mana, Dok?"
"Di RSUD Bangil ya."
"Kok, bukan di rumah sakit yang swasta itu, Dok?"
"Di RSUD saja, SPBM-nya hanya praktik hari Sabtu. Mbak ke sana hari Sabtu saja."

Saya mengiyakan karena drg. Minni juga merujuk ke RSUD Pasuruan yang berada di Raci ini. Ada biaya untuk konsultasi? Tidak. 
Semua gratis karena ditanggung BPJS di klinik ini. 

Bertemu Dokter SPBM (Spesialis Bedah Mulut)
Rujukan dari faskes 1 ke rumah sakit rujukan adalah RSUD. Saya datang hari Sabtu, sebab hanya hari itulah SPBM-nya hadir. 

Saya membawa fotokopi rujukan dari faskes 1, fotokopi kartu BPJS, fotokopi KTP, dan KK (Kartu Keluarga). Ternyata di RSUD ini tidak dibutuhkan fotokopi KK. 
Karena banyaknya yang harus difotokopi, jadilah suami memotokopi buanyaak. 

Proses antri mudah, walau pasien begitu banyak. Saya dapat antria nomor 204. Apaaaah?
Terbayang horornya jamuran di ruang antrian yang luaaas seperti aula. Dengan layar lebar yang menunjukkan nomor berapakah sekarang. 

Ternyata, cepat juga. Setelah 45 menit mengantri, saya pun dipanggil. 
Hanya membayar kartu berobat yang mirip KTP Rp 20 ribu. 
Saya pun ke lantai 2 untuk antri lagi di Poli Gigi. 
Serba antri memang. Yah, namanya juga gratis pemirsaaah. Memang sih, kita bayar tiap bulan. Tapi, kadang nanti tagihan buanyak, namun tetap gratis. Siapa emak-emak yang nggak mau gratis? 

Setelah beberap saat mengantri, mungkin 30 menit. Saya masuk ke ruang dokter bedah mulut. Dokternya sangat ramah, jauh dari kesan horor. Seingat saya namanya drg. Budi SPBM. Sudah berusia sekitar 50-an, punya selera humor yang baik. 
Saya diperiksa beberapa saat. Lalu diminta melakukan rongent untuk panaromic gigi. 

Saya pun ke ruang radiologi dengan membawa surat rujukan. 
Tidak mengantri, karena pasien di situ tidak begitu banyak. Saya masuk ruang foto yang canggih. Kemudian menunggu hasil foto panaromic gigi. 
Berapa yang saya keluarkan di sini? 
Gratis. Di dalam tagihan ada nominal Rp 110 ribu. Tapi, karena di-cover BPJS jadi gratis. 

Saya kembali ke lantai atas dan menemui dokter. Setelah ini itu. 
Dokter pun memeriksa dengan cermat. "Ada 2 gigi yang perlu dicabut."
Haaah? Dua? 
Ompong dong sayah!
"Ini geraham bungsu kanan dulu yang bawah, terus yang kiri juga."
"Tapi, operasinya satu-satu ya," kata Pak Dokter. 
Saya manggut-manggut. 
"Kita jadwal dulu kapan operasinya."
Setelah beberapa lama, akhirnya perawat datang. "Mbak, operasi bedah mulutnya tanggal 2 September 2017 ya."
Subhanallah, lama amat!

Saya agak shock, juga bingung. Seneng juga ada, sedih banyak malah. Seneng, karena nggak senewen mikirin operasi gigi yang mungkin ngilu setengah mati. Sedih karena masih 5 bulan lagi operasinya. Kok begitu lama? 

"Iya, Dok."
"Nah, Mbaknya nanti ditelpon dulu sama RSUD, sebelum tanggal operasinya."

Saya meninggalkan nomor ponsel aktif. Yah, aktif banget lha wong belinya saat menikah sama Kangmas. Hingga sekarang masih saya jaga. Kalau ada takdir ponsel hilang, pasti langsung saya urus nomor tersebut. Kan buat kerja juga, itu nomor sudah ke mana-mana.Ke penerbit, agensi, klien, teman-teman, dan lain-lain.

"Ohya, foto panaromic-nya ditinggal di sini ya Mbak. Siapa tahu, nanti bisa maju operasinya."
Dokter kemudian memberi saya resep, asam mefenamat, amoxicillin, dan obat kumur. 
Saya pun pulang dengan bayangan baru 5 bulan lagi operasi pencabutan gigi. Lama. Berharap gusi tidak bengkak. 

Ternyata, Allah Memberi Kemudahan
Hari Rabu, setelah 4 hari saya dari RSUD Bangil Poli Bedah Mulut, ada telepon di pagi hari. Nomornya bukan ponsel, seperti nomor kantor. 

"Assalamuaalaikum, dengan Mbak Puspita?"
Saya menerima telepon dengan penuh tanda tanya. Biasanya sih paket dari ekspedisi baru yang tidak tahu rute rumah saya. Tapi, seingat saya bulan ini saya belum beli online. 

"Mbak, ini dari RSUD, besok kamis bisa ya datang ke Poli Gigi. Nanti giginya dicabut. Tapi, dokternya berbeda."

Haah? Cepat banget yak? Ini masih 5 hari sejak saya datang ke Poli Gigi RSUD Bangil. Seperti dapat durian runtuh. Hehe. 

"Siap Mbak, saya datang begitu saja ya?"
"Daftar dulu, nanti langsung ke Poli Bedah Mulutnya, jangan siang-siang ya Mbak. Takut dokternya pulang."
"Iya, Mbak. Terima kasih."
Saya meletakkan ponsel dengan hati berdebar kaget. 

Operasi Geraham Bungsu
Hari Kamis, saya menyiapkan mental memasuki ruang operasi gigi yang super dingin. Dokter yang menangani operasi cabut gigi geraham bungsu saya adalah drg. Suyudono. Masih berusia sekitar 45-an mungkin, jelas lebih muda dari drg. Budi, SPBM.

Beliau sangat teliti dan cerdas. Begitu mencermati foto X-Ray dari area gigi mulut saya, "Ini ada lubang di area impaksi gigi, Bu. Maka harus dicabut segera yang bungsu biar tidak merusak."

Masya Allah, saya bersyukur ya ada dokter yang begitu cermat. Sebelumnya, beliau dan mbak perawat yang saya lupa namanya--seingat saya namanya Umrotul Wachidah--mencermati foto-foto panaromic gigi dan menemukan kalau gigi saya harus segera dicabut agar bisa menyelamatkan gigi lainnya. 

"Tidak ada alergi obat ya?" dokter menyermati rekam medis saya. 
Setelah itu dokter memasang foto panaromic gigi di dinding. "Jadi, yang sakit sebelah kanan bawah ini, Bu?" 
"Iya, Dok. Menurut dokter Budi harus dicabut geraham bungsu kanan dan kirinya."
"Yang sering bengkak yang kanan ya?"
"Iya, Dok."

Saya pun duduk di kursi operasi gigi. Kursinya agak berbeda dari kursi praktik gigi lainnya. Ada 3 kursi praktik dokter gigi di ruangan poli, tapi yang bedah gigi ditempatkan di kamar tertentu yang lebih khusus. Kursinya lebih besar, lebih modern. Dengan alat-alat yang agak serem. Hehe. 

Saya diminta duduk setengah berbaring. Dokter menyiapkan suntik anastesi lokal. Disuntiklah gusi saya di bagian kanan bawah. Tidak sakit. Setahu saya, tapi saya terus berzikir. Agar rileks dan tenang. Dokter menyuntik lagi di area gusi lainnya. Ini suntikan anastesi lokal kedua. Kemudian dokter dan perawat keluar sebentar mengambil sesuatu. 
Mungkin menunggu reaksi obat bius bekerja. Saya merasa kesemutan. Kebas, dan rasa deg-degannya itu pemirsaaaaah. 

Beberapa menit kemudian, dokter masuk kembali. "Ini didobel ya, Bu. Agar tidak terasa sakit." Dokter Suyudono menyuntik dengan alat suntik yang dipencet-pencet kecil.

Menunggu beberapa menit. Mulut rasanya menebal. Saya berusaha rileks. Dokter mengambil beberapa alat pencabut gigi, saya diminta membuka mulut lebar, dan bersikap tenang. Saya sih tenang saja. Udah tawakal sajah bawaannya. Hehe. 
Dengan posisi yang baik, dokter Suyudono mencabut gigi saya. Ditekan-tekan, ditarik, digoyang, dan akhirnya dokter meminta perawat mengambil alat khusus. Saya diminta tenang. Daan, selesai. 

30 menit prosesnya, tidak ada adegan pecah memecah gigi. Gigi bungsu langsung bisa diambil sempurna. Tidak begitu ngilu. Rasanya amazing, pemirsaaah. 
Saya masih belum banyak bicara. Diminta menekan kapas kasa di area pendarahan dan bekas cabutan gigi. Tidak pakai jahit menjahit, alhamdulillah. 

"Jangan kumur-kumur dulu, Bu. Kalau merasa tidak enak, langsung saja meludah," kata dokter Suyudono. 
Saya kemudian diberi resep, dan diminta menambal gigi yang terlanjur berlubang di dekat geraham yang dicabut tadi. "Tapi, ini masih bisa ditambal. Belum menyentuh saraf lubangnya."
"Nggak perlu dicabut kan, Dok?"
"Masih bisa dirawat, jadi dipertahankan saja, lebih baik. Kontrol tambalan gigi 3 bulan sekali ya. Seminggu kemudian bisa ditambal." 

Yeayy, biar nggak ompong lah. 

Setelah menebus resep obat, dengan antrian yg membuat saya pingin menggelar tikar, dan tidur. Selesai sudah perjuangan hari itu.

Akhirnya selesai juga 'drama' gigi bungsu ini. Tidak mengeluarkan uang sepeserpun kecuali untuk fotokopi. Saya pulang dengan lega, dengan banyak bersyukur. Rezeki Allah bisa lewat mana saya. Masya Allah, alhamdulillah binikmatihi tatimmusshalihaat. Terima kasih dokter Suyudono, terima kasih BPJS. []





Komentar

Postingan Populer