Masa Kecil Fatih Seferagic Saat Menghafal Al-Quran
Secara menakjubkan dalam tempo yang singkat yaitu 3 tahun, Fatih kecil telah menuntaskan hafalannya. Hal yang luar biasa untuk bocah seusianya. Apalagi Fatih hidup di Houston, Texas.
Udara masih saja menggigil saat
keluarga Seferagic memutuskan untuk membawa anak mereka yang masih berusia 4
tahun ke bandara. Sebenarnya, sang ibu—seorang muslimah berkebangsaan Bosnia, berkerudung,
namun berkulit putih dan bermata biru—masih betah tinggal di Jerman. Namun,
suaminya meminta dia dan anaknya untuk mengikutinya ke Amerika Serikat.
“Kamu yakin bisa hidup di negeri
itu, Sayang?” Tanya sang istri cemas.
“Insya Allah, ini lebih baik dari di
Sturtgartt.”
“Bukankah Amerika terkenal sebagai nerara yang sangat bebas? Di sana tidak ada aturan tertentu mengenai kehidupan. Bebas sebebas-bebasnya.”
Suaminya memandang dengan lembut,
“Walaupun di sana tidak ada adzan, jarang terdapat masjid seperti di Bosnia,
ataupun masyarakatnya sangat bebas. Kita akan berjuang agar anak kita
mendapatkan pendidikan terbaik di sana.”
“Pendidikan terbaik bagaimana?” Sang
istri masih saja ragu.
“Kita akan mencarikannya sekolah
Islam terbaik. Aku sudah mencari-cari di internet. Ada komunitas Islam yang
baik di Baltimore, di sana nanti Fatih akan belajar dengan baik. Tenanglah,
Sayang. Kita sudah pernah melewati masa-masa terburuk di Bosnia, lalu di
Jerman. Kita akan menang di Amerika nanti. Fatih akan menjadi muslim yang
baik.” Panjang lebar sang suami menjelaskan.
Perempuan berkerudung itu menghela
nafas panjang, mencari ketenangan dalam dirinya. Tidak mudah memang menjadi
seorang imigran. Namun, Bosnia sejak penyerangan Serbia, dan peristiwa
pembant@ian muslim, ia merasa Bosnia tidak lagi aman untuk calon putranya.
Kepindahannya ke Stutgartt, Jerman
adalah untuk melahirkan dan memulai hidup baru. Bagaimana mungkin bisa hidup
dengan tenang di Bosnia? Tanah Bosnia telah terkoyak-koyak sedemikian rupa
karena invasi Serbia. Bagaimana mungkin ia melupakan pembant@ian di Sebrenica?
Ia
masih sangat jelas mengingat, bagaimana kondisi Bosnie pada bulan April 1993,
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapan Sebrenica sebagai zona aman. Tidak ada
yang boleh mengangkat senjata di daerah itu termasuk Muslim Bosnia, meskipun
itu adalah wilayah mereka. Tapi pasukan Serbia yang sejak awal mengincar
wilayah itu tidak mau mematuhi ketentuan PBB.
Puluhan
ribu orang Bosniak (sebutan untuk etnis muslim Bosnia) berkumpul di pos
kemananan PBB yang dikawal Dutchbat (tentara Belanda) di Potocari, Srebrenica,
untuk mencari perlindungan dari serangan tentara Serbia pada 11 Juli 1995.
Pejuang-pejuang Muslim Bosnia tidak bisa melawan, karena persenjataan mereka
telah diserahkan kepada pasukan PBB, sebagai tanda kepatuhan atas ditetapkannya
Srebrenica sebagai zona aman yang dilindungi PBB. Dan pasukan PBB tidak mau
memberikan kembali senjata itu kepada pejuang Muslim.
Dengan
alasan kekurangan personil dan persenjataan, serta tidak ada dukungan pasukan
udara dari markas mereka, Dutchbat membiarkan pasukan Serbia masuk ke
Srebrenica dengan persenjataan lengkap. Pasukan Belanda dibawah komando Kolonel
Karremans memilih mundur, meninggalkan begitu saja warga Muslim Bosnia yang
mencari perlindungan. Nyawa 30 ribu Muslim yang berlindung ditempat mereka
ditukar dengan 13 personil Dutchbat yang ditahan VRS.
Pasukan
Serbia, termasuk panglima tertinggi VRS Jenderal Ratko Mladic—yang kemudian
dikenal sebagai penjahat perang—membagi-bagikan permen, makanan kecil dan rokok
kepada orang Bosniak yang berlindung di pos PBB itu. Mereka kemudian dipisahkan
antara laki-laki dari perempuan.
Hanya
dalam beberapa hari kemudian mata dunia terbelalak, mendengar ribuan pria dan
anak laki-laki Muslim telah dibantai pasukan Serbia.
Sejarah
mencatat pembant@ian di Sebrenica terjadi sampai 22 Juli 1995. Namun
orang-orang yang lolos dari maut mengatakan bahwa pembant@ian terus berlangsung
lama, hingga ke daerah pegunungan. Sebanyak 30 ribu muslim terbunuh, sedangkan
20 ribu perempuan muslim lainnya diperkosa secara sistematis.
Innalillahi
wa inna ilaihi raa ji’uun. Inilah sebab tersendiri
mengapa ia dan suaminya memilih menjadi imigran. Menyelamatkan keluarga mereka
dari pembant@ian dan invasi Serbia. Hingga menyeretnya menuju Jerman. Tidak
berapa lama, kini ia, si kecil Fatih, dan suaminya sedang menunggu pesawat dari
Texas.
Ia
menatap Fatih kecil yang tampak asyik bermain lego. Matanya basah. Dalam hati
ia berdoa dalam, agar Fatih menjadi muslim yang baik. Walaupun ia harus tinggal
di negeri Paman Sam, yang menjunjung tinggi secara berlebihan kehidupan yang
bebas.
Tetapi,
di atas segalanya ia bersyukur Fatih bisa lahir di Jerman, tanpa harus
merasakan pahitnya hidup di Bosnia. Semoga saja keluarga besarnya selalu
dilindungi Allah.
Hari-Hari di Houston
Menjalankan kehidupan sebagai seorang muslim di Amerika
cukup berat. harus lebih berhati-hati dalam menjaga pakaian, makanan, ataupun
pergaulan. Sebab itu, ibu Fatih sedari kecil sudah memahamkannya bahwa mereka
tidak memakan makanan yang haram.
Fatih yang terlihat ramah dan banyak teman, membuat
teman-temannya terkesima. Ketika ia masih berumur 7 tahun ia menjelaskan kenapa
mereka tidak diperbolehkan memakan makanan yang haram.
“Aku, maksudku kami muslim, memang tidak dilarang untuk
mengkonsumsi makanan yang haram. Kalian tahu, aku tidak makan babi, ataupun
sembelihan yang bukan disembelih atas nama Allah. Jadi, aku tidak bisa
mengkonsumsi makanan ini.”
Sesuai dengan permintaan ibunya, sang ayah pun
mengenalkan Fatih sedari kecil terhadap Islam. Di Baltimore, terdapat sebuah
yayasan muslim yang dikenal dengan Islamic Society of Baltimore. Yayasan
itu cukup besar, sehingga beberapa lini di bawahnya seperti Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), rumah sakit, masjid, dan lain-lain.
Saat itu, Fatih masih berusia 9 tahun dan telah melewati
beberapa tahun di Amerika. Walaupun menjadi minoritas, namun Fatih sangat mudah
bergaul. Penampilannya yang khas anak-anak kulit putih membuatnya mudah
diterima di segala tempat.
Walaupun demikian, keluarga Fatih sangatlah memerhatikan
kondisi keimanan anaknya, mereka secara rutin berjama’ah. Mengaji bersama,
hingga seringkali membawa Fatih ke masjid besar di Baltimore.
Fatih kecil selalu antusias saat mengikuti shalat
berjamaah. Ia ingin seperti ayahnya yang selalu shalat dengan khusyuk. Saat itu
ia memutuskan sesuatu yang membuat ibunya menangis.
“Ibu, sepertinya Qur’an Class di masjid Ar-Rahmah cukup
menarik. Aku sangat menyukai para pengajarnya.”
“Ohya, alhamdulillah jika begitu.” Sang ibu menatap
anaknya dengan bangga. Lalu melihat sebuah earphone di samping ponselnya.
“Kamu mendengarkan apa, Fatih?” Sang ibu yang terkenal
sangat protektif dan tidak menginginkan anaknya bergaul bebas nampak khawatir.
“Aku mendengarkan Sudais.”
“Sudais?”
“Imam Sudais, Ibu. Imam besar Masjidil Haram.” Lancar
sekali bibir Fatih menjelaskan.
“Aku sangat menyukai makharij-nya. Luar biasa
fasih dan sangat menyentuh hati.”
Sang ibu menatap kaget, “Kamu suka mendengar bacaan
Al-Qur’an?”
“Iya, tentu saja. Bukankah di sekolah aku belajar itu
juga.”
“Kamu ingin menghafal Al-Qur’an, Fatih? Seperti anak-anak
muslim di negeri mereka?” Cecar sang ibu dengan nada bahagia.
Fatih dengan wajahnya yang lucu dan tampan menganggguk,
“Ya. Aku ingin sekali bisa menghafalkan Al-Qur’an. Bagaimana, Bu? Aku ingin
masuk Hifdz Class Program.”
“Tentu. Bukankah selama ini kamu juga sering menghafal
Al-Qur’an?”
“Ya. Tapi, aku ingin program khusus, Bu.”
“Ibu sangat mendukungmu, Nak.” Sahut sang ibu dengan mata
yang berkaca-kaca.
Menghafal Al-Qur’an
di Negeri Paman Sam
Fatih sangat menyukai aktivitasnya di masjid Ar-Rahmah,
Baltimore. Ia sejak kecil memang seringkali diajak oleh orang tuanya
mengunjungi masjid. Ikut shalat berjamaah, walaupun ketika kecil ia masih
sering bermain-main saat ke masjid.
Ketika ia sudah masuk di bangku sekolah dasar, Fatih di
sela-sela kesibukannya tetap menghafalkan Al-Qur’an di bawah bimbingan Syaikh
Qari Zahid, dan juga Syaikh Qari Abid.
Secara menakjubkan dalam tempo yang singkat yaitu 3
tahun, Fatih kecil telah menuntaskan hafalannya. Hal yang luar biasa untuk
bocah seusianya. Apalagi Fatih hidup di Houston, Texas.
“Ayah, Ibu. Besok aku akan melewati ujian hifdz program
di Ar-Rahmah. Maukah kalian datang?”
“Tentu.” Sahut sang Ayah bangga.
“Kamu sudah hafal seluruh Al-Qur’an, Fatih?” Ibunya
menatap tidak percaya.
“Iya. Besok aku akan diuji di depan Syaikh Qari Zahid,
dan juga Syaikh Qari Abid. Maukah kalian ke sana?” Mata bening Fatih mengerjap.
“Iya, Sayang. Kami akan ke sana, tentu saja.”
Menjadi Penghafal
Termuda di Amerika
Saat itu, Fatih kecil telah berusia 12 tahun. Walaupun
masih bocah, namun jelas sekali jika banyak yang menyayanginya.
Ujian itu ternyata berada di ruang khusus Hifdz Program
Baltimore. Setelah Fatih kecil membaca beberapa juz. Ia diminta meneruskan
ayat-ayat yang dibaca oleh Syaikh penguji. Demikian seterusnya. Hingga Fatih
kecil nampak lelah. Saat istirahat pertama, ayahnya membawakan burger halal
buatan ibunya yang sedang shalat. Hingga akhirnya ujian Hifdz Program telah
usai.
Betapa senangnya Fatih, karena ia menjadi penghafal
Al-Qur’an termuda di Amerika Serikat. Berkat ketekunan, dan kesungguhannya
mencintai Al-Qur’an. Selain itu, hal ini telah menghapus keraguan orang tuanya,
bahwa walaupun mereka tinggal di negeri non muslim, mereka masih tetap dapat
mendidik anaknya dengan ajaran sesuai syariat Islam.
Idola Baru Remaja
Muslim di Dunia
Beberapa
waktu pun berlalu, Fatih Seferagic telah berusia 17 tahun.
Penampilannya yang terbilang gaul, dan keren sama sekali tidak menunjukkan
bahwa dirinya adalah seorang hafidz Al-Qur’an. Namun, saat kita mendengarkannya
mengimami jama’ah shalat. Subhanallah, semoga keberkahan selalu menyertainya
setiap saat.
Kini, di sela-sela kesibukannya, ia mengajar Al-Qur’an,
dan juga melanjutkan belajar. Wajahnya yang mirip dengan salah satu bintang di
Twilight semakin banyak menarik perhatian. Saat ini, Fatih telah menjadi buah
bibir remaja Islam di seluruh dunia.
Fatih juga membuka kelas jarak jauh untuk mengajar
Al-Qur’an lewat Skype, namun sayangnya belum menerima murid dari Indonesia.
Sebab, perbedaan waktu yang ada. Ia mengkhawatirkan jika masih saja diteruskan,
murid-muridnya akan kesusahan mengkuti jadualnya. Untuk membumikan syiar dakwah
Islam dan Al-Qur’an, kita dapat menghubungi Fatih di FP Facebook, Fatih
Seferagic, dan di Twitter fatihseferagic.
Fatih yang tampan ini telah mengilhami banyak remaja
untuk dapat lebih mencintai Al-Qur’an. Coba kita simak bagaimana Fatih
memberikan komentar mengenai kecintaannya terhadap Al-Qur’an.
“Jika kamu membaca beberapa lembar Al-Qur’an, maka kamu akan merasakan keajaiban. Lembar demi lembarnya telah lama membuatku terkesima. Semakin lama, aku semakin mencintainya. Bacalah dengan hatimu, kamu akan merasakan hal tersebut.”
Fatih yang juga mengunggah videonya di Youtube, banyak
menarik perhatian. Betapa istimewanya keimanan, sehingga ia yang hidup di
Amerika, masih terjaga di dalam lindungan Allah. Menjadi imam masjid besar di
Baltimore dalam usia sangat muda. Di saat remaja seusianya masih asyik dengan
sikap uga-ugalan dan tidak mengerti tujuan hidup.
Sungguh, kita perlu banyak belajar dari Fatih Seferagic.
Keajaiban Allah di negeri Paman Sam.[]
Komentar
Posting Komentar