Dengan Masa Lalu Sekelam Itu, Bagaimana Mungkin Ia Menerimamu?
Jika perempuan sudah tak memiliki mahkota lagi. Tak punya rasa malu pula. Apa lagikah yang akan dibanggakan?
![]() |
Bagaimanapun, masa lalu adalah bagian dari hidup kita. (foto Pixabay) |
Sore ini saya
betul-betul kaget. Tak bisa berkata apa-apa. setelah seharian berbagi bahagia
dengan merayakan Ied Adha bersama keluarga. Entahlah, tetiba deringan telepon
di ponsel suami saya mengaung-ngaung. Menginterupsi waktu bahagia itu.
Satu kali deringan.
Dua kali.
Tiga kali.
Empat kali.
Tidak kunjung diangkat
juga oleh suami saya.
Hingga sepotong pesan
pendek muncul dari layar ponsel suami saya, “Aku ke sana sekarang ya. Ini
penting banget.”
Dari seorang perempuan
bernama anggap saja Bu Banda.
Ini adalah salah satu relasi bisnis suami saya.
Saya mulai menebak kenapa suami saya mengacuhkan telepon itu. Bisa jadi Bu
Banda ini menanyakan kesiapan seorang ikhwan yang bulan lalu melakukan pra
ta’aruf terhadap putrinya.
Tentu saja didampingi
suami saya.
Si Ikhwan ini seorang wirausahawan dan telah mencapai usia mapan.
Sekitar 32 tahunan. Sementara putri dari Bu Banda ini berusia sekitar 24 tahun.
Rasanya sudah klik. Putri Bu Banda ini adalah mahasiswi dari sebuah perguruan
tinggi keguruan. Mengisi hari-harinya dengan kuliah dan memberi les privat.
Nah, ideal banget kan?
Selain aktivis pengajian, Bu Banda dan suaminya termasuk orang terpandang di
sebuah ormas masyarakat di daerah kami. Lalu apa lagi yang membuat ikhwan X ini
terkesan maju mundur?
Apakah Ikhwan
Selalu Dihinggapi Rasa Ragu?
Penyakit lama ikhwan
kebanyakan memang melihat secara visual. Oke lah mereka mengatakan akan
mengukur kesiapan seorang akhwat dari sisi spiritualitas. Tapi, kebanyakan
teori itu akan jatuh berdebum ketika dihadapkan dengan akhwat yang
berpenampilan tidak menarik, berfisik biasa saja, dengan penghasilan dari
kerjanya yang kecil.
Benar. Memang begitu
yang banyak saya temui. Walau tidak semua demikian. Ada memang yang sangat
cepat memberi keputusan dengan langsung mengatakan “Iya, saya mau sama akhwat
ini.” Kalau si akhwat berkulit putih, wajah cantik, dan terkesan lemah lembut.
Selainnya?
Oh, saya lupa melihat
mukjizat ada yang begitu mudah dita’arufkan dengan nilai dan ukuran agama.
Maka, akhwat-akhwat
yang tidak memiliki penampilan kinclong akhirnya harus pula tereliminasi
sedemikian. Tapi, memang tidak semua.
Nah, ikhwan X ini saya
curigai memiliki kecenderungan harus berjodoh dengan akhwat cantik. Kok, lama
banget mengatakan serius dan maju pada tahap selanjutnya. Setelah saling
membaca formulir dan bertemu muka. Ada apakah gerangan?
Sampai-sampai ibu dari
ikhwan X ini curhat, kenapa putranya kok susah banget mencari jodoh. Mereka
khawatir umur ikhwan X ini akan bertambah terus, dan karena keasyikan bekerja
jadilah tak terasa kalau sedang membujang.
Masa Lalu Itu
Mengagetkan Saya
Ternyata, oh ternyata
bukan karena itu.
Ikhwan X ini ragu
karena mendengar pengakuan dari putri Bu Banda. Yah, putri Bu Banda ternyata
adalah seorang janda dengan satu anak. Dan ini dirahasiakan!
Setelah pertemuan
ta’aruf yang kesekian baru terungkap. Jarang sekali yang tahu hal ini. Akibat pergaulan
yang kelepasan di awal kuliah dulu, hingga harus dinikahkan, walau kemudian
bercerai kembali setelah memiliki anak. Si anak ini kini diasuh oleh Bu Banda.
Ini yang tidak pernah
diungkapkan oleh putri Bu Banda pada kami. Pada mak comblangnya. Pada
perantaranya. Aih, saya shock.
Bagaimana pun ukuran
kesucian itu adalah hal yang penting walaupun mungkin untuk beberapa orang
tidaklah demikian.
Tapi, kenapa putri Bu Banda ini sampai kelepasan pacaran
kemudian bisa bergaul bebas?
Hingga harus menikah karena akan memilik bayi?
Kemudian bajingan yang menghamilinya ini lari tak tahu rimbanya.
Aduh, sedih banget
saya mendengarnya.
Miris. Kalau pacaran
dan pergaulan bebas tidak berimbas negatif. Lihatlah ini, Ladies? Tak cukupkah fakta-fakta telanjang ini?
Sama seperti saat saya
dulu mengabsen nama siswi di kelas. Yang kemudian saya tahu tak masuk lagi
gara-gara harus menikah karena hamil duluan. Hancur langsung hati saya. Dan itu
tidak satu atau dua kali. Bisa berkali-kali dalam sekian tahun, sekian bulan.
Padahal, mungkin
kami—para guru—memang terlalu cerewet untuk mengingatkan mereka agar menjaga
diri. Menyayangi diri sendiri dari serigala berbulu domba.
“Takutlah Allah, Nduk. Takutlah dosa. Minimal,
kalau bukan kalian yang menghargai diri kalian dengan baik, siapa lagi kalau
begitu?”
Begitu kata saya
berulang-ulang. Di depan kelas. Di akhir pelajaran. Dengan ending penutup kisah-kisah pilu pergaulan bebas, dan pertolongan
Allah bagi siapa saja yang menjunjung syariat-Nya.
Hingga kemudian
kejadian itu saya temukan kembali sore ini. Saya tak bisa berkata-kata lagi.
Jikalau ikhwan X tidak kunjung melanjutkan ta’aruf ini walaupun Bu Banda, dan
putrinya begitu berharap, saya tak akan kaget lagi.
Saat Bu Banda
bercerita masa lalu putrinya dengan berurai air mata. Kami tak bisa menjawab
bagaimana. Kami ingin menghibur Ibu yang mungkin hatinya sudah redam akibat
perbuatan putrinya di masa lalu.
Hanya saya tak bisa
bicara apa-apa. Tidak untuk saat ini. []
Komentar
Posting Komentar