Ketika Cinta Mulai Memudar



Cinta bukan masalah biasa


Setelah tujuh tahun berumah tangga, Susan (32 tahun) merasa pernikahannya tak seindah bayangannya selama ini. Dahulu, sebelum menikah, rasa cintanya begitu menggebu. Pun tatkala akad dilaksanakan, dadanya berdebar-debar kencang. Saat itu Susan mengaku menjadi wanita yang paling bahagia.


Namun, hari berganti hari. Bulan merambat menjadi tahun. Kenyataan pun menjelma di depan mata. Berbagai masalah pun bermunculan. Kesalahpahaman dengan suami. Masalah tekanan ekonomi. Kejenuhan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Hingga penghargaan yang didapat dari suami dirasa kurang. Ketidakjujuran yang terungkap. Semua ini mengakibatkan hubungan pun menjadi renggang. Cinta pada pasangan pun akhirnya berada pada titik nadir yang memprihatinkan.


Siapapun tidak ingin rumah tangganya hancur berantakan. Tetapi, terkadang hal ini muncul begitu saja. Padahal, kesiapan suami dan istri belumlah mencukupi. Rumah tangga yang sakinah pun rasanya masih jauh dari harapan. Lalu, bagaimana mengembalikan cinta yang mulai pudar ini? 





Kesalahan Fatal (Terkadang) Bisa Memudarkan Cinta
Terkadang pemakluman dan pemberian maaf akan terasa berat saat pasangan melakukan kesalahan fatal. Misalnya saja, berselingkuh, ketidakterbukaan, dan ketidakjujuran. Hal ini bisa menggerogoti rasa cinta dan hormat yang selama ini dipupuk. Tak lama kemudian pudarlah rasa cinta di antara keduanya. 


Misalnya saja, seorang suami yang kurang terbuka membicarakan berapa nominal gaji yang dimilikinya. Hal ini sepele sebenarnya. Dan memang tidak ada tuntutan untuk mengatakannya pada istri. Namun, jika dilakukan terus-menerus. Maka istri bisa merasa tidak dihargai lagi. Ujung-ujungnya, kepercayaannya pada suami pun perlahan luntur.
Jika kondisi ini berkelanjutan, dan prahara lain berdatangan, bomnya adalah ancaman firaq (cerai). 


Menurut data yang dimiliki oleh Pengadilan Kota Malang (2014), sebanyak 1552 perkara cerai (75 persen) merupakan gugatan yang diajukan istri. Sedangkan sisanya 665 perkara (25 persen) merupakan gugatan dari suami.[ Harian Nasional, Desember 2014]

Menurut Kasdullah, Panitera Muda PA Malang, perceraian ini disebabkan beberapa faktor.

“Ada beberapa faktor yang mendominasi. Pertama, adalah keharmonisan, kedua, tekanan ekonomi, ketiga, perselingkuhan, dan terakhir adalah lingkungan,” papar Kasdullah.[ Harian Nasional ]


Dari ribuan perkara tersebut, yang berhasil dimediasi (kembali rujuk) hanya 8,52 persen atau sekitar 233 pasangan saja. Padahal berbagai cara dilakukan oleh pihak PA untuk mengembalikan pasangan yang sedang bermasalah tersebut.
Ini menunjukkan bahwa pasangan yang sedang mengalami masalah, dan retak karena adanya kesalahan yang cukup fatal, agak susah untuk direkatkan kembali. Walaupun itu adalah hal yang mungkin. 


Sebab itulah, cinta memang harus dipupuk bersama. Harus ada upaya untuk saling menjaga kehormatan. Juga menghindarkan diri sejauh mungkin dari kesalahan-kesalahan kecil dan terlihat sepele, seperti bohong ataupun meremehkan pasangan. 


Mengeliminasi Kejenuhan Pada Pasangan
Biasanya pernikahan akan mengalami titik kejenuhan di tahun keenam. Pada tahap ini, baik suami maupun istri telah terikat pada siklus rutinitas yang itu-itu saja. Mengurus rumah--mengurus anak—mengembangkan karir. 


Belum lagi apabila timbul masalah-masalah lainnya, misalnya keluarga besar, lingkungan, atapun masalah keuangan. Semua ini mengakibatkan suami ataupun istri tidak memiliki banyak waktu bersama.

Biasanya, hal ini semakin menjadi tatkala godaan sosial media, keluarga besar, ataupun hobi lebih mendominasi rutinitas hariannya.

Apabila hal ini terus berlangsung, maka tidak dapat dipungkiri lagi cintapun perlahan memudar. Sebab, cinta yang ada tidak pernah dipupuk lagi seperti dulu.

Lalu, siapa sebenarnya yang lebih dahulu mengalami kejenuhan ini? Baik suami ataupun istri berpotensi untuk mengalaminya. Jika masing-masing pihak memiliki persepsi ‘menyerah’ dan tak mau mengembalikan cinta yang pudar itu. Maka bom waktu yang bernama perceraian bisa saja terjadi. Sebab itulah diperlukan komitmen bersama untuk memperbaiki keadaan ini. 


Selain komitmen, diperlukan juga kemauan untuk menjadikan dasar takwa sebagai acuan dalam mencintai pasangan. Seorang suami mencintai istrinya atas dasar keimanan pada Allah. Sebab itulah, suami akan menjadi qawwam dan juga imam yang baik. Dikarenakan Allah pulalah seorang istri menjaga kehormatan dirinya, dan keluarganya. Menjalankan amanah dari suami, sekaligus mencintai dan menyenangkan hatinya. Apabila hal ini dilaksanakan, maka terbangunlah sinergi yang kuat diantara keduanya.

Kunci lain untuk mengeliminasi kejenuhan adalah komunikasi dan keterbukaan. Lewat dua hal ini, baik suami ataupun istri akan memahami cara pandang, keinginan, kebutuhan, sifat, dan hal-hal lain dari pasangannya. Komunikasi yang intens, dan efektif juga akan mencegah timbulnya berbagai prasangka. 

Hal lain yang perlu diketahui adalah fokuslah pada kelebihan pasangan kita. Banyak pasangan yang merasa ‘hijau’ saat melihat pasangan lainnya. Menyaksikan betapa cantik istri temannya, ataupun melihat betapa kaya suami kawannya. Ini semua hanya akan membuat rasa syukur kita pada Allah berkurang. Daripada menengok ‘rumput sebelah’ yang terlihat subur itu, coba lihat kembali betapa menariknya pasangan kita. Fokuslah pada kelebihannya. Bukankah Anda dahulu jatuh cinta karena itu?

Yang tak kalah pentingnya, perbaiki diri. Ubah kebiasaan buruk yang mungkin mengganggu pasangan. Jangan masa bodoh. Toh, Anda juga ingin dia mengubah perilaku buruknya bukan? Kompaklah untuk sama-sama membuat komitmen saling belajar untuk memperbaiki diri.


Membangun Sakinah dalam Keluarga
Tidak ada yang lebih indah selain sakinah dalam keluarga. Begitulah dambaan setiap pasangan. Ini semua bisa kita nilai dari banyaknya kartu undangan yang mencantumkan ayat berikut. 


وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21)


لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا maksudnya supaya kamu merasa nyaman kepadanya. Seperti halnya seseorang yang berada dalam keadaan penat dan letih di siang hari, kemudian menemukan kenyamanan di malam hari. 


Ini seperti yang tercantum di Surat Yunus ayat 67.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
 “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya (litaskunu fihi) dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (QS. Yunus:67)

Sakinah dalam konteks berkeluarga adalah ketenangan yang diberikan Allah kepada seluruh anggota keluarga. Sakinah merupakan lawan dari perasaan resah, galau, ataupun tergoncang. 


Suasana sakinah ini lama kelamaan akan muncul dan berubah menjadi mawaddah (rasa cinta) sehingga rasa tanggung jawab dan saling memahami terbangun di antara suami istri. Lalu timbullah rahmah (kasih sayang) yang kental diantara keduanya.


Untuk membangun sakinah di dalam keluarga yang cintanya mulai memudar, memang diperlukan beberapa upaya yang lebih keras. Lafadz “sakiinah” sebenarnya terncatum di enam ayat lain dalam Al-Qur’an. Yaitu Al-Baqarah ayat 248, At-Taubah ayat 26 dan 40, Al-Fath 4, 18, dan 26. 


Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menurunkan (menganugerahkan) sakinah pada para nabi, dan orang-orang beriman dalam melewati ujian kehidupan. Kita bisa bercermin dengan para nabi dan orang-orang beriman ini dalam melewati ujian hidup.
Nabi Muhammad Saw. merupakan teladan utama dalam berperilaku terhadap keluarga. Sebagaimana sabda beliau.


“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku” (HR At-Thirmidzi no 3895 dari hadits Aisyah dan Ibnu Majah no 1977 dari hadits Ibnu Abbas dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).


Cara Rasulullah Saw. bersikap terhadap istri dan keluarganya merupakan sebuah tuntunan yang perlu dipelajari kemudian diamalkan. Bagaimana beliau terbiasa bersikap romantis terhadap para istrinya. Misalnya saja memanggil mereka dengan nama terbaik, mandi bersama, makan berdua, ataupun tidak mencela makanan yang dihidangkan di hadapannya. 


Selain itu, kita pun bisa bercermin dari kesabaraan Hajar yang begitu mematuhi suaminya Nabi Ibrahim alaihis salam. Tatkala memerintahkan Hajar untuk tinggal di sebuah gurun pasir yang tandus, dan tanpa bekal mencukupi. Padahal saat itu, Hajar bersama dengan bayi Nabi Ismail alaihis salam. Namun, keimanan dan rasa patuhnya pada suami menggetarkan arsy hingga Allah memberikan air zam-zam yang bisa kita nikmati hari ini.


Teladan lainnya diberikan oleh Istri Nabi Ayyub alaihis salam. Saat istri-istri lainnya pergi meninggalkan Nabi Ayyub as. Dalam keadaan sakit parah hingga 18 tahun lamanya, maka Istri Nabi Ayyub (disebut bernama Rahmah) ini satu-satunya yang merawat beliau hingga sembuh. Setia dengan komitmen dan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan seorang istri pada suami. Walaupun ketika itu sang suami sedang dalam keadaan tak berdaya.     Disinilah para istri akan menuai pahala berlimpah yang dijanjikan Allah.

[Puspita RM, tweet @oase_hati) *dimuat di Malajah Hukum Islam Almuslimun no 16 edisi Maret 2015.

Komentar

Postingan Populer