Bangun Keluarga Cinta Qur'an, Mulai Sekarang!

Khusyuk karena cinta terhadap Al-Qur'an


    Abraham Harold Maslow--psikolog terkenal dunia--pernah memasukkan keamanan sebagai faktor terpenting dalam piramida kebutuhan manusia, setelah tercukupinya kebutuhan fisiologis. Tanpa keamanan, rasanya mustahil mewujudkan keluarga yang harmonis, penuh cinta, dan mampu mendorong anggota keluarganya untuk aktualisasi diri. Namun, teori ini ambruk di hadapan anak-anak Gaza. Bagaimana tidak?




     Sejak kecil, anak-anak Gaza dididik untuk berinteraksi dengan Al Qur'an. Dimulai dari keluarga, dan difasilitasi oleh pemerintah, anak-anak ini tersebar dalam ratusan pusat penghafal tahfidz Qur'an yang ada di seluruh jalur Gaza.

Program Generasi Qur'an untuk Al Aqsha ini sukses mencetak 870 anak penghafal 30 Juzz Al Qur'an (pada tahun 2010 kemudian terus meningkat hingga tahun 2015, hingga Gaza dikenal sebagai daerah pencetak penghafal Al-Qur'an paling tinggi di dunia). Sementara puluhan ribu anak yang lain, masih intensif belajar dan menghafal Al Qur'an. Siap diwisuda untuk menjadi seorang hafidzul qur'an, penghafal 30 juz Al Qur'an.


    Anak-anak Gaza ini tumbuh di antara desingan peluru, ledakan bom, hingga serangan membabi buta pesawat tempur Israel. Secara logika, sangat mustahil mereka bisa menjadi anak-anak yang bermental positif, namun ternyata fakta berkata lain. Lewat didikan keluarga-keluarga Qur'ani, anak-anak ini tumbuh menjadi sosok pejuang tangguh, sekaligus penghafal Al-Qur'an. Ya, mereka menghafal Al-Qur'an dalam keadaan yang genting. Mulut mungil mereka masih melantunkan murajaah sementara di seberang sana suara ledakan bom terdengar.

    Keamanan. Sesuatu yang tidak ditemukan di Gaza. Ternyata bukan merupakan syarat mutlak untuk mencetak generasi Qur'ani. Rasa aman tersebut rupanya telah mereka dapatkan dalam bingkai iman.

    "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar Ra'du [13]:28)

     Lalu bagaimana dengan keluarga kita? Sudahkah Al-Qur'an menjadi basis pola asuh mereka? Sudahkan kita (berusaha) mencetak mereka sebagai generasi Qur'ani?

Indahnya Negeri di Bawah Naungan Al-Qur'an
    Berbeda jauh dengan kondisi Gaza, negeri kita ini cukup aman. Tidak ada bom meledak, atau pesawat tempur menderu di udara. Tidak ada letusan peluru. Anak-anak kita lahir di lingkungan yang cukup kondusif. Terpenuhi kebutuhan fisiologisnya, sekaligus mendapatkan keamanan sejak lahir. Namun, mengapa kondisi anak-anak kita kebanyakan jauh dari Al-Qur'an?

    Di Gaza, tidak ada peminta-minta berkeliaran. Angka buta huruf di sana pun nyaris nol persen. Hasil pertanian dan perkebunan melimpah padahal Gaza berada di daerah gurun yang panas dan minim air. Umat Islam di sana memenuhi masjid hingga selalu meluber saat shalat berjamaah. Para wanita menutup aurat dengan sempurna tanpa takut dicap sebagai teroris. Para muslimah tangguh ini bahkan memiliki mental sekuat baja untuk melepaskan suami ataupun anak-anaknya ke medan pertempuran. Melawan Israel.

    Di sana, hampir semua orang menghafal Al-Qur'an. Mulai dari Perdana Menteri, Menteri-Menterinya, anggota parlemen, para profesional, dokter, insinyur, dan ibu rumah tangga tampak sibuk dengan kedekatannya bersama Al-Qur'an.

     Hal ini terjadi karena adanya tarbiyah yang berkesinambungan. Dimulai dari almarhum Syaikh Ahmad Yassin yang melakukan pendidikan berlandaskan Al-Qur'an. Kondisi peperangan dan tekanan Israel yang semakin menjadi-jadi malah membuat warga Gaza terdorong waspada. Tidak ingin melakukan hal-hal yang bersifat sia-sia. Serta selalu mendekatkan diri kepada Allah.
   
Tak Sekedar Menghafal, Namun Memahami dan Melaksanakan Ajaran Al-Qur'an
    Di negeri kita, geliat menggemarkan diri untuk menghafal Al-Qur'an bukannya tidak tampak sama sekali, seperti beberapa dekade sebelumnya. Kini banyak pula orang tua yang berkeinginan agar si buah hati menjadi penghafal Al-Qur'an. Namun tentu saja jumlahnya masih sedikit. Bahkan kemungkinan menjadi keluarga minoritas di tengah banyaknya keluarga yang menghabiskan hari-harinya dengan hamburan hiburan internet, dan media elektronik.

    Keluarga cinta Al-Qur'an adalah keluarga yang memprioritaskan waktunya untuk lebih banyak berinteraksi dengan Al-Qur'an. Mulai dari membaca, memahami maknanya, mengamalkan, hingga mendakwahkannya. Tetapi, bukan berarti keluarga tersebut tidak melakukan kegiatan lainnya seperti halnya kegiatan ekonomi, politik, ataupun sosial. Semua hal tersebut tetap dilakukan, namun Al-Qur'an menjadi prioritas terbesar.

    Di sinilah peran penting orang tua sangat diharapkan. Baik ayah maupun ibu memiliki andil yang sama-sama besar dalam membina putra-putrinya mencintai Al-Qur'an. Ini bisa dimulai dengan menciptakan atmosfer cinta Al-Qur'an di dalam rumah.

    Keteladanan orang tua merupakan hal yang utama. Biasanya anak cenderung mengimitasi semua kegiatan orang tuanya. Bila orang tua memiliki kedekatan yang tinggi dengan Al-Qur'an dalam keseharian mereka, maka anak merekam semua ini di dalam memorinya. Sehingga kecintaan pada Al-Qur'an bisa dengan cepat ditumbuhkan.

    Sebenarnya, pembentukan keluarga cinta Qur'an ini dimulai sejak pemilihan calon pasangan sebelum menikah. Calon ibu yang ideal adalah muslimah yang mengerti hukum-hukum syariat dan memiliki keterikatan yang tinggi dengan Al-Qur'an. Sebab pengaruh ibu terhadap anak lebih besar dibandingkan pengaruh ayah kelak.

    Menurut sebuah penelitian, jika seorang ayah adalah penghafal Al-Qur'an maka kemungkinan sebesar 35 persen anak akan hafal. Namun, jika seorang ibu penghafal Al-Qur'an maka 85 persen kemungkinan, anaknya bisa menghafal Al-Qur'an.
    Membiasakan janin mendengar tilawah yang dibaca ibu merupakan awal kebiasaan yang baik. Jika lelah, ibu bisa menyetel murattal sehingg sejak awal ayat-ayat Al-Qur'an bukan merupakan hal yang didengar anak-anak. Tidak perlu menunggu anak hingga bisa bicara untuk mulai membaca Al-Qur'an. Sejak bayi pendengaran anak sudah berfungsi, akan sangat baik jika ia terbiasa menyerap ayat-ayat Al-Qur'an. Subahanallah

    Selain orang tua, tidak ada salahnya berbagi peran untuk mendidik anak-anak dengan mendatangkan guru, atau menyekolahkan anak di sekolah yang cinta Qur'an. Walaupun demikian, perlu dipahami jika guru hanya membantu, sedang letak tanggung jawab utama pendidikan ini ada di pundak orang tua.

    Program harian untuk anak bisa dirancang ibu bersama ayah. Misalnya, tilawah beberapa ayat selepas shalat maghrib kemudian mentadabburinya bersama. Selanjutnya bisa menghafalnya. Sebaiknya, setiap keluarga memiliki waktu untuk mematikan segala jenis gagdet. Agar saat itu, setiap anggota keluarga bisa berkonsetrasi dalam mengikuti kajian. Namun, bukan berarti suasana yang dibangun menjadi tegang, bangunlah suasana yang penuh kasih sayang. Agar anak merasa hangat saat berdekatan dengan Al-Qur'an. Sering memperdengarkan murattal setiap hari pada waktu tertentu juga akan membuat anak-anak tidak merasa asing dengan Al-Qur'an.
  
    Apabila anak-anak telah beranjak remaja, maka tantangan orang tua untuk mendekatkan mereka dengan Al-Qur'an lebih besar lagi. Sebab, gempuran ghazwul fikri demikian hebat. Sehingga terkadang bisa menggoncang akidah anak-anak jika kita tidak teliti. Rajinlah berdiskusi dan dengarkan anak kita. Lewat diskusi santai kita bisa membuat dialog yang sehat.
   
Memilih Institusi Pendidikan yang Tepat
    Ibu merupakan sosok ideal bagi anak mendapatkan transfer pemahaman Al-Qur'an. Alangkah indahnya, jika anak-anak bisa membaca Al-Qur'an lewat tangan ibunya secara langsung. Untuk umur 0 hingga 12 tahun, ibu merupakan madrasah pertama yang tak pernah kering. Tetapi, jika kesulitan tentu saja ibu bisa meminta bantuan kepada asisten. Sedangkan suami merupakan partner ibu dalam memberi pemahaman anak pada AL-Qur'an, keduanya harus berkolaborasi saling mendukung.

    Nah, selepas usia 12 tahun, ada alternatif  institusi pendidikan lain yang bisa dijadikan pilihan, yaitu memasukkan anak-anak ke pesantren. Pesantren merupakan bentuk institusi ideal untuk pembentukan karakter anak, sekaligus memupuk kemandiriannya. Tentu saja, pemilihan pesantren haruslnya yang benar-benar sesuai dengan visi misi dakwah Islam.

    Tetapi, ada kalanya kecemasan melanda orang tua. Apakah anak yang masuk pesantren bisa mendapatkan kasih sayang secara optimal? 

     Tak perlu risau. Sebab kasih sayang Allah akan melimpah pada mereka yang bertekad untuk memahami Al-Qur'an sekaligus menghafalnya. Di pesantren anak tidak akan kehausan kasih sayang, sebab kasih sayang Allah lebih dahsyat dibanding orang tua. Ada guru dan teman yang akan menemani anak-anak saat di pesantren.

    Apabila telah dirancang sejak awal, baik di rumah ataupun di pesantren, maka orang tua perlu memikirkan investasi biaya yang diperlukan. Sejak dini, sebaiknya orang tua telah menyiapkan dana pendidikan bagi anak-anak. Sehingga ketika remaja, mereka tidak akan kesulitan.
    Jika untuk les privat matematika saja orang tua mau membayar mahal, kenapa untuk mempelajari kitabullah harus pikir-pikir biaya? Padahal keutamaan Al-Qur'an jauh lebih tinggi. Yakinlah, Allah akan memberikan pertolongan.

    Hal lain yang perlu dipahami, menghafal Al-Qur'an tidak membuat seorang anak kehilangan cita-citanya. Kebanyakan orang memahami jika penghafal Al-Qur'an kelak akan menjadi ustadz. Padahal, banyak penghafal Al-Qur'an yang memiliki kesibukan profesional lain. Seperti menjadi dokter, ahli hukum, tentara, politisi, dan lain-lain.

    Justru anak-anak yang menghafal Al-Qur'an malah memiliki kecerdasan lebih tinggi dibandingkan teman-temannya yang bukan penghafal Al-Qur'an. Sebagaimana ilmuwan Islam terdahulu, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, AL-Khawarizmi dan lain-lain. Jadi, menjelang datangnya Bulan Ramadhan tahun ini, kenapa tidak mulai sekarang kita lebih dekat pada Al-Qur'an? (@oase_hati)

Artikel ini dimuat di Majalah Hukum Islam Almuslimun no.15 Juli 2015/1436 H di rubrik Ummahat.

   
   
   

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer