Masuk Islam dengan Hidayah Allah SWT (Ustazah Irena Handono)


Masuk Islam dengan hidayah Allah
Masuk Islam dengan rahmat dan hidayah Allah Ta'ala.
Copyright:
Pixabay

Ruangan perkuliahan tiba-tiba terasa panas. Seorang mahasiswi muda dengan berani maju ke depan, dan menggambar bujur sangkar. 

“Jika memang Allah itu bisa digambarkan dengan segitiga seperti itu. Maka seiring dengan kecanggihan teknologi, manusia akan membutuhkan pribadi Allah lainnya yang lebih banyak,” sang mahasiswi berargumen dengan suara tegas. 

“Maksud kamu apa?” sang dosen bertanya dengan nada galak.

“Jika Allah bisa digambarkan dengan garis A—B, B—C, C—A. Saya juga bisa menggambarkan Allah dengan formula tersebut,” si gadis menjawab tangkas. Diikuti dengan pandangan tak suka dari sang dosen. 

Irena Handono lahir pada 30 Juli 1954 di Surabaya, Jawa Timur. Irena kecil tumbuh di lingkungan religius yang taat. Kedua orang tuanya adalah keturunan Tionghoa, dari keluarga non Muslim. Selain itu, kehidupan Irena saat itu nyaris sempurna. 

Orangtuanya adalah seorang pengusaha kaya raya di Surabaya. Rumahnya saja memiliki luas hingga 1000 meter persegi. Hal yang sangat luar biasa. Maka tidak heran jika saat itu orang tua Irena adalah donatur terbesar gereja di Indonesia. 

Irena merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Irena merupakan satu-satunya perempuan dari lima bersaudara tersebut. Sebab itulah, seluruh perhatian orang tua dan kakak-kakaknya tertuju melimpah kepadanya. 

Masa Kecil yang Luar Biasa

Karena ketaatan keluarga tersebut, maka sejak kecil Irena sudah memimpikan kehidupan di biara. Ia ingin mengabdikan dirinya kepada Allah.  Semakin besar, keinginan Irena makin kuat dan makin besar. Hingga ia merasa, bahwa keinginan itu adalah satu-satunya tujuan hidup. 

Saat Irena menginjak remaja, ia memperlihatkan prestasi yang memukau di bidang akademik. Ya, Irena adalah gadis yang cerdas. 

Bahkan ia tercatat sebagai salah satu ketua termuda dalam sebuah organisasi gereja di Surabaya. 

Teman-temannya pun banyak, sebab ia adalah gadis yang menyenangkan. 

Berbeda dengan remaja pada umumnya, walaupun ia menjadi gadis yang populer di gereja maupun sekolah, Irena masih tetap berkeinginan untuk masuk biara. Karena itu, ia tidak tertarik untuk menghabiskan hidupnya dengan foya-foya ataupun hura-hura. 

Sebaliknya, ia malah banyak menghabiskan waktu untuk beribadah di gereja ataupun membaca buku. 

Suatu ketika, Irena muda menyampaikan keinginannya tersebut kepada kedua orang tuanya. Ya, ia sangat ingin masuk biara, dan mengikuti pendidikan sebagai biarawati. 

Keinginannya untuk menjadi biarawati sudah tidak dapat dibendung lagi. Walaupun berat, kedua orang tuanya akhirnya mengijinkannya untuk menimba ilmu di biara. 

Irena akhirnya masuk biara sekaligus kuliah di Institut Filsafat Teologia—seperti seminari yang merupakan pendidikan akhir untuk para pastur. Hanya dua orang biarawati yang mendapat kesempatan istimewa itu, Irena termasuk salah satunya. 

Saat itu, usia Irena masih 19 tahun. Namun, dia sudah menekuni dua jenis pendidikan sekaligus, yaitu pendidikan di biara, dan di seminari. Di sana ia mengambil Jurusan Islamologi, Fakultas Comparative Religion. 

Mulai Mengenal Islam

Di tempat inilah Irena pertama kali mengenal Islam. Pada kuliah perdana, dosen memberi pengantar bahwa agama yang terbaik adalah agama mereka, sedangkan yang lain tidak. Saat itu, dosen juga mengatakan bahwa Islam itu jelek. 

“Bukankah kalian sudah tahu bahwa siapa yang melarat di Indonesia? Siapa yang bodoh? Siapa yang suka bertengkar? Siapa yang suka kehilangan sandal setiap hari Jum’at? Siapa yang biasanya menjadi teroris? Semua menunjuk pada Islam. Jadi, kita bisa simpulkan kalau Islam itu agama yang jelek.”

Irena muda yang kritis mengangkat tangan, “Tapi, Pastur. Kesimpulan tersebut harusnya diuji. Sebab, di beberapa negara lain yang mayoritas beragama Katholik juga demikian. Bagaimana dengan Philiphina, Meksiko, Italia, Irlandia. 

Negara-negara ini adalah mayoritas kristiani, dan penduduknya juga tak kalah amburadul. Bahkan beberapa negara lainnya, malah menjadi penjajah seperti terbentuknya negara Yahudi Israel, atau terbentuknya Amerika Serikat dan Australia. Jadi, premis seperti itu kurang bisa dipakai.”

Irena akhirnya tertarik untuk mempelajari lebih jauh masalah ini. Ia pun meminta ijin untuk mempelajari Islam langsung dari sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Sang Pastur pun memberikan ijin, dengan catatan ia harus mencari kelemahan-kelemahan Islam.

Terpukau dengan Surah Al-Ikhlas

Ketika memegang kitab suci Al-Qur’an pada kali pertama, Irena sempat kebingungan. Sebab, ia tidak mengerti tulisannya. Ia bingung, mana bagian depan, belakang, bawah ataupun atas. 

Selain itu, tulisan ayat-ayat Al-Qur’an panjang-panjang, dan bulat-bulat. Ia Ia tidak bisa membaca huruf Arab. Akhirnya, Irena memutuskan untuk membaca terjemah. 

Karena belum tahu, bahwa membuka Al-Qur’an harus dari bagian kanan. Sehingga, surat yang pertama kali dibacanya adalah Al-Ikhlas. Saat membaca, surat Al-Ikhlas, Irena berkomentar dalam hati, 

“Ini kok bagus. Bisa diterima. Allah itu Satu. Tidak beranak, diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang bisa menyamainya dalam hal apapun.”

Malam harinya, ia kembali membaca surat Al-Ikhlas. “Allahu Ahad. Allah itu Satu. Inilah yang benar,” tekad Irena. 

Keesokan harinya, terjadi diskusi hangat antara Irena dan dosen-dosennya. Ketika itu, Irena membukanya dengan pertanyaan, “Pastur, saya belum memahami bagaimana hakikat Allah.” 

Dosen maju ke arah papan tulis, kemudian kembali bertanya padanya, “Belum paham yang mana?” Saat itu dosen menggambar segitiga sama sisi, AB=BC=CA. Allah itu satu, dengan tiga pribadi. Satu dalam tiga. Sehingga Allah Bapak, dengan Allah Putra, sama kuasanya dengan Allah Roh Kudus. Demikian sebaliknya. 

Irena mengernyitkan keningnya, “Jika demikian, apabila dunia sudah canggih, dan mengalami banyak kemajuan. Maka kita memerlukan empat pribadi Allah.”

Dosennya pun bereaksi keras, dan mengatakan tidak bisa. Namun, Irena nekat maju ke depan dan menggambar bujur sangkar. 

“Ini tidak boleh,” Pastur bersikeras. “Kenapa tidak boleh?” tanya Irena mendalam. “ Ini adalah dogma. Aturan yang dibuat oleh pemimpin gereja.”“Kalau misalnya, saya belum paham dengan dogma tersebut, maka bagaimana?” “Telan saja, terima. Sebab kalau kamu ragu, itu berarti dosa!” Pastur mengatakannya dengan keras. Namun Irena sama sekali tidak terpengaruh. 

Malam harinya, Irena tetap bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat Allah. 

Pada hari berikutnya, Irena masih saja menanyakan mengenai hakikat Allah kepada Pastur. Ia kembali mengajukan pertanyaan, “Pastur, menurut Anda. Siapa yang membuat kursi, meja, mimbar?” 

Sang Pastur melihat kepadanya dan mengerutkan kening. Ia mulai curiga dengan pertanyaan itu. “Coba saja Anda yang menjawab,” tantang Pastur. 

“Tukang kayu,” jawab Irena lugas. 

“Lalu maksud Anda apa?” Pastur mengajukan pertanyaan kembali. 

“Menurut saya, meja, kursi, mimbar ini hingga sepuluh atau seratus tahun pun akan tetap menjadi meja, kursi, ataupun mimbar. Tidak akan berubah menjadi tukang kayu,” jelas Irena berfilosofi.
 “Apa sebenarnya maksud Anda?” tanya Pastur. 

“Seperti halnya Allah yang telah menciptakan alam semesta, termasuk di dalamnya manusia. Hingga seratus tahun pun manusia akan tetap menjadi manusia. Tidak akan dapat mengubah dirinya menjadi Allah. Allah tidak boleh dipersamakan dengan manusia,” Irena mengakhiri kalimatnya diikuti pandangan bingung sang Pastur. 

Malam harinya, Irena kembali mengkaji Surah Al-Ikhlas. Keesokan harinya, ia kembali membuka ruang diskusi di dalam kelas. Ia mengajukan pertanyaan, “Siapa yang melantik RT?” 

Kontan saja semua yang hadir di dalam ruangan tersebut tertawa. Namun, mereka kemudian menyadari bahwa Irena seringkali menjadikan pertanyaan-pertanyaannya untuk menjelaskan sesuatu. 

“Sekarang Anda ingin mengatakan apa kepada kami,” tantang Pastur. 

“Saya sebenarnya tahu siapa yang melantik RT. Menurut saya yang melantik RT itu adalah eselon di atasnya, seperti RW, atau Lurah. Kalau sampai ada RW dilantik oleh RT maka pelantikan ini tidaklah sah.” 

Mereka tidak mengerti arah pembicaraan Irena. Hingga Irena mengatakan, “Menurut pendapat saya, Allah telah menciptakan manusia dan alam semesta. Manusia sebenarnya adalah hamba Allah. Jadi, jika sesama manusia kemdian melantik manusia, jelas pelantikan ini tidaklah sah.”

Menemukan Sejarah Gereja

Malam berikutnya, Irena kembali mengkaji surat Al-Ikhlas. Kembali terjadi dialog-dialog, sampai akhirnya Irena bertanya mengenai sejarah gereja.

Menurut semua literratur yang telah dipelajarinya, dan kuliah yang diterima, Yesus untuk pertama kali disebut dengan sebutan Allah, dia dilantik menjadi Allah pada tahun 325 Masehi. Jadi, sebelum itu ia belum menjadi Allah, dan yang melantiknya sebagai Allah adalah Kaisar Constantien kaisar romawi.

Pelantikannya terjadi dalam sebuah conseni (konferensi atau muktamar) di kota Nizea. Untuk pertama kali Yesus berpredikat sebagai Allah. 

“Maka silahkan umat kristen di seluruh dunia ini, silahkan mencari cukup satu ayat saja dalam injil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, mana ada satu kalimat Yesus yang mengatakan 'Aku Allahmu'? Tidak pernah ada,”  kenang Irena suatu ketika. 

Seketika itu juga, Irena dianggap sebagai biarawati yang sangat kritis. Hingga saat ia menuntaskan waktu untuk mempelajari Al-Qur’an, ternyata ia tidak menemukan kelemahan Al-Qur’an. 

“Saya tidak bisa menemukan kelemahan Al-Qur’an, saya yakin tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menemukan kelemahannya,” tegas Irena. 


Keluar dari Biara
Irena pun memiliki kebiasaan baru, yaitu mengkaji Al-Qur’an. Ia pun akhirnya berkesimpulan bahwa Islam adalah agama yang hak. Pikiran mengenai kebenaran Islam membuat jiwa Irena bergetar, dan gelisah. 

Ia pun tidak bisa menikmati waktunya di dalam biara. Hingga ia mengambil keputusan besar, ia keluar dari biara. 

Keputusan tersebut, adalah keputusan yang dilaluinya dengan perenungan yang dalam. Bahkan lewat pengkajian Al-Qur’an yang dilakukannya, Irena bahkan mengetahui kedudukan Maryam yang sesungguhnya. 

Padahal di dalam doktrin Katholik Maryam mendapatkan tempat yang istimewa, namun tidak ditemukan injil Maryam. Padahal semua doa nyaris lewat perantaranya.
 Namun, bukan hari itu Irena masuk Islam. butuh waktu hingga 6 tahun bagi dirinya, untuk menemukan ketetapan hati mengucapkan kalimat syahadat. 

Pergumulan untuk memeluk agama Islam ini bukan hanya melelahkan jiwa dan raganya. Bahkan semua anggota keluarganya tidak mau menerimanya.
 Saat Irena keluar dari biara, ia melanjutkan kuliah di Universitas Atmajaya. Kemudian menikah dengan Katholik. Harapan Irena saat itu, ia tidak akan lagi memikirkan tentang Islam, sehingga tidak ada lagi pergulatan di dalam dirinya.
 Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Suami Irena saat itu adalah seorang aktivis mahasiswa, sehingga sangat senang berdiskusi. Setiap kali ia berdiskusi dengan Irena kemudian menyinggung Islam, berakhir dengan pertengkaran. 

Sebab, suami Irena telah memiliki pola pikir bahwa Islam itu tidak bagus. 

Padahal Irena yang kritis tidak menginginkan sesuatu dihujat tanpa adanya alasan. Hingga akhirnya timbullah jurang pemisah di antara ia dan suaminya. Jurang ini makin lama makin besar saja. 


Masuk Islam

Irena kemudian berinisiatif untuk belajar kepada ustad. Ia berpikir pernikahan semacam ini tidak bisa dilanjutkan. Akhirnya ia bertemu dengan K.H Mishbah (alm.) saat itu beliau menjabat sebagai ketua MUI Jawa Timur. 

Beberapa kali Irena bermaksud untuk masuk Islam dan mengemukakan keinginannya tersebut di hadapan K.H Mishbah, namun selalu saja beliau menjawab, “Masuk Islam itu gampang, namun apa Anda siap dengan segala konsekuensinya?”

Irena menjawab dengan lugas, “Siap!”

“Apa Anda tahu bagaimana konsekuensinya?” tanya K.H Mishbah. 

“Ya, saya tahu. Pernikahan saya bukan?” Irena balik bertanya. 

“Jadi, yang Anda pilih yang mana?” 

“Saya pilih Islam.”

Saat itulah Allah berkenan memberikan rahmat dan hidayah kepada Irena. Ia masuk Islam pada tahun 1983, di umur 26 tahun. 

Saat itu, ia telah memiliki 3 orang anak. Dua laki-laki, dan satu orang perempuan. Anak-anak Irena nanti di kemudian hari akan menjadi muslim seperti dirinya. Alhamdulillah. 

Setelah masuk Islam, Irena tahu benar bagaimana posisinya sebagai seorang muslim. Ia menjalankan kewajiban shalat. Saat itu, satu hari menjelang Ramadhan. Ia pun menunaikan shalat. 

Saat itulah, kakaknya mencari dirinya. Karena rumah sangat besar, sehingga di dalamnya terdapat kamar-kamar. Hingga akhirnya, kakaknya melihat seorang perempuan shalat di salah satu kamar. Perempuan itu adalah dirinya. Namun, kakaknya tidak menyadari hal itu. 

Pada hari berikutnya, kakak Irena lainnya, juga mencarinya kembali. Ie menjelajahi kamar demi kamar. Hingga akhirnya menemukan dirinya sedang shalat. 

Sang kakak terkejut bukan kepalang. Ia sangat shock, menyaksikan adik perempuan satu-satunya masuk Islam. 

Semenjak menjadi mualaf, dan keluar besarnya tahu. Irena tidak diperkenankan lagi tinggal di rumah orang tuanya. Ia pun pindah dan mengontrak di rumah yang lebih kecil di daerah Surabaya. 

Sesekali ibunya menjenguk, namun 6 bulan kemudian sang ibu menutup mata untuk selama-lamanya.
Irena sangat ingin mendakwahi keluarganya, namun sangat sulit.

Menunaikan Ibadah Haji

Pada tahun 1992, Irena berkesempatan menunaikan rukun islam ke lima. Ia naik haji ke tanah suci. Saat di Tanah Suci, ia seringkali mengeluh mengapa jalan hidupnya bergitu berliku. 

“Kalau Engkau, ya Allah, menakdirkanku menjadi seorang yang mukminah, mengapa Engkau tidak menakdirkan saya menjadi anak orang Islam, punya bapak Islam, dan ibu orang Islam, sama seperti saudara-saudaraku muslim yang kebanyakan itu. 

Dengan begitu, saya tidak perlu banyak penderitan. Mengapa jalan hidup saya harus berliku-liku seperti ini?”

Saat berada di Masjidil Haram, Irena merasakan kekuatan yang luar biasa. Cinta Allah seperti memenuhi rongga dadanya. Ia pun tersungkur dan memohon ampunan kepada Allah. 

Ia pun bersyukur atas anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Bukankah tidak sama, orang yang tahu dan tidak tahu? 

Ia bersyukur dikarunia anugerah perjuangan luar biasa menemukan Islam. Banyak orang Islam yang juga belum tahu hakikat keislamannya. 

Sejak saat itu, Allah memberikan anugerah pada Irena kelancaran dan kemudahan di dalam berdakwah. Hingga akhirnya, banyak orang yang mengundangnya berceramah. 

Ia pun kemudian menemukan belahan jiwanya, seorang ulama. Masruchin Yusufi, duda lima anak yang isterinya telah meninggal dunia. Kini kami berdua sama-sama aktif berdakwah sampai ke pelosok desa.

Irena dikenal dengan dakwahnya yang tegas, dan berani membongkar makar-makar musuh Allah. Islam memang telah seringkali disudutkan dengan tidak adil. 

Stereotip bahwa Islam adalah agama yang penuh kekerasan, disebarkan dengan peperangan serta agama terbelakang melekat kuat pada pikiran orang-orang barat. Hal ini dikarenakan mereka tidak memahami Islam secara benar. 

Sejarah tentang Islam dipenuhi oleh pendapat-pendapat para orientalis yang tendensius. Pemberitaan terhadap Islam pun penuh dengan propaganda negatif.


“Padahal jika barat memahami Islam langsung dari sumbernya, tidak terpengaruh oleh segala opini negatif yang ada saat ini serta jujur terhadap sejarah maka merekapun akan menyadari bahwa segala prasangka mereka kepada Islam adalah salah.” (Karen Armstrong)


Banyak tantangan dan cobaan yang dialami oleh ustazah Irena Handono. Namun, sekali lagi, ia tetap bertekad untuk memberikan hidup dan matinya pada Allah. []


Komentar

Postingan Populer