Fenomena Nikah Siri: Solusi ataukah Masalah bagi Perempuan dan Keluarga?


Saat mendengar pernikahan siri, kebanyakan orang langsung mengaitkannya dengan pernikahan tanpa restu orang tua, pernikahan rahasia, dan tidak dicatatkan di KUA. Benarkah demikian?


Beberapa waktu lalu, salah satu tetangga saya menikah. Namun, pernikahannya tidaklah seperti pernikahan umumnya. Sebab, tidak ada undangan untuk menghadiri walimah, tidak juga ada kabar-kabari dan berita tentang pernikahannya. Anggap saja namanya Reni (38 tahun). Tahu-tahu sudah dikabarkan menikah. Begitu saja.

Perempuan perlu belajar banyak mengenai hukum-hukum pernikahan



Reni sebelumnya adalah single parent dengan satu anak yang duduk di bangku SMP. Reni sudah lama melajang, mungkin sekitar sepuluh tahun. Bukannya tidak menarik, Reni adalah perempuan yang cantik. 

Banyak yang tertarik untuk menikah dengannya. Sayangnya, tidak masuk kriteria Reni. Single parent ini menginginkan suami yang mapan. Seorang Pegawai Negeri Sipil, ataupun pegawai BUMN.

Bukannya tidak ada pegawai BUMN ataupun PNS yang mendekatinya selama ini. Kebanyakan gagal, lantaran ternyata si pegawai telah beristri atau Reni malah mau dijadikan istri kesekian.

Nah, ternyata tahun ini Reni melepas masa lajangnya dengan seorang perwira. Seperti impiannya selama ini. Sayangnya, status perwira ini masih ambigu. Antara duda, dan suami orang. 


Konon, sudah mengurus perceraian dengan istrinya dulu. Namun, hingga saya menulis artiel ini, tidak ada surat cerai yang turun.


Saya tidak ingin membahas suami Reni lebih jauh. Namun, saya ingin membincangkan status pernikahannya. Sebagai pendatang, suami Reni telah mendaftarkan diri di RW setempat dan menyatakan telah menikah siri dengan Reni.

Nikah siri Reni ini konon ternyata menggunakan wali hakim. Ayah Reni sudah tiada. Namun, entah mengapa Reni tidak meminta adik kandungnya untuk menjadi wali. 

Padahal, jelas yang berhak menjadi wali Reni adalah adik laki-lakinya yang juga berusia matang. Adik kandungnya juga baru tahu kalau kakak perempuannya menikah siri di suatu tempat. Hah?

Tidak ada walimah. Tidak ada kerabat yang diundang bahkan saudara kandung saja tidak tahu jika saudarinya menikah. Semacam menikah diam-diam. Tanpa suara. Tanpa ada apa-apa. Fenomena macam apakah ini?

Tidak hanya itu, pernikahan siri Reni memang tidak dicatat di kantor pemerintah sebab suaminya belum mendapat surat cerai. Suaminya ini juga tidak setiap hari di rumah Reni, hanya seminggu dua hingga tiga hari saja.

Lalu, jika kelak Reni memiliki anak, bagaimanakah mengurus akte kelahirannya? Bagaimana pula statusnya di KTP? Bagaimana dengan kartu keluarganya? Tidakkah hal ini memberatkannya saat berada di lingkungannya sendiri?

Fenomena Pernikahan Siri 

Di negara kita, nikah siri sering diartikan sebagai nikah rahasia, nikah di bawah tangan, dan nikah diam-diam. Dalam syariat Islam sebenarnya tidak ada istilah nikah siri. 


Jadi, kita bisa memahami bahwa nikah siri ini adalah istilah yang timbul karena kebutuhan sosial semata. Kebanyakan orang memilih untuk melakukan praktik nikah siri, karena dirasa lebih praktis ketimbang nikah secara resmi.


Misalnya, saja Rara (29 tahun) memilih menikah siri karena surat cerainya belum keluar dari pengadilan agama. Ia malas mengurusnya, sebab mantan suaminya susah dihubungi setelah berselingkuh beberapa tahun lalu. Selain tidak memiliki banyak waktu, Rara juga mengaku tidak memiliki uang untuk mengurus surat cerai dan persidangan.


Sedangkan Desi (42 tahun) memilih menikah siri karena dirasa lebih praktis. Setelah perceraiannya dengan mantan suami, perempuan yang menjadi PNS ini memilih menikah dengan seorang anggota TNI. Ajaibnya, mereka sama-sama tidak ingin mencatatkan pernikahannya di KUA karena dirasa tidak praktis dan ribet.

Lain halnya dengan Susan (21 tahun) ia mengaku menikah siri karena tidak direstui orang tua. Saat menikah pun ia memilih wali hakim padahal orang tuanya masih lengkap. Susan masih kuliah di sebuah PTN, dan telah berumahtangga selama setahun. Selama itu ia menyembunyikan pernikahannya dari keluarga.

Definisi yang  bisa kita simpulkan dari nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan seorang modin (penghulu agama), dan saksi tanpa melalui KUA.

MUI sendiri mendefinisikan nikah siri sebagai nikah di bawah tangan. Yaitu, pernikahan yang terpenuhi semua unsur syarat dan rukunnya sehingga terhitung sah. Namun, tidak dicatat di KUA sebagaimana aturan yang berlaku.

Syarat Sah Pernikahan 
Perlu dipahami bahwa Islam telah memberikan aturan dan syariat yang jelas tentang pernikahan. Sebelum kita menelaah tentang pernikahan siri, ada baiknya kita me-review kembali syarat sah pernikahan dalam Islam.
Ada beberapa syarat dan kewajiban dalam melaksanakan pernikahan dalam Islam.

1. Penyebutan akad nikah secara jelas, dan sharih 
Saat menikah, maka wali nikah menikahkan dengan kalimat yang jelas. Yaitu, “Saya nikahkan putri saya Fatimah binti ….., dengan ……” dan tidak diperkenankan menikahkahkan dengan kalimat akad yang tidak jelas seperti, “Saya nikahkan putri saya, dengan …..” padahal ia memiliki banyak anak perempuan. 


2. Adanya mahar

Mahar atau maskawin merupakan syarat sah sebuah pernikahan. Mahar bisa diberikan sesuai kesepakatan kedua mempelai. Mahar bisa barang berharga, ataupun tidak. Mahar bisa pula berupa perbuatan seperti hafalan Al-Qur’an, ataupun jasa mengajarkan Al-Qur’an bagi istri. 


3. Adanya wali nikah

Saya lebih cenderung menyatakan bahwa wali nikah merupakan syarat sah sebuah pernikahan dengan beberapa dalil berikut ini. 


"Dari Aisyah ia telah berkata: 'Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: ‘Seorang perempuan yang menikah tanpa adanya izin dari walinya maka sesungguhnya pernikahannya adalah batil, batil, dan batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah (penguasa negara) adalah wali bagi  wanita yang tidak mempunyai wali.’" (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, Ahmad)  



Hadis ini adalah sahih dengan tidak ada keraguan di dalamnya. Adapun yang menyatakan bahwa hadis ini lemah lantaran seseorang bernama Zuhri, yaitu ketika ada orang yang bertanya padanya kemudian dijawab, “Aku tidak meriwayatkan hadis ini.”


Sebagaimana yang dalam riwayat Ahmad, setelah hadis ini: “Ibnu Juraij menyatakan: Saya telah bertemu dengan Zuhri, kemudian saya bertanya padanya tentang hadis ini namun ia tidak mengetahuinya secara pasti. Dan ia lalu menyanjung Sulaiman bin Musa.”



Namun, kritik hadis ini telah dibantah oleh beberapa ulama hadis berikut. 


1. Kisah ini dilemahkan oleh beberapa ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, Yahya bin Ma’in, Ibnu Abdil Barr, Al-Hakim serta beberapa lainnya. Sebab tambahan ini tidak diriwayatkan melainkan dari Ibnu Ulayyah saja. 


2. Misalnya saja kisah ini sahih, namun tetap tidak bisa dijadikan hujjah untuk melemahkan hadis ini. Karena lupanya Zuhri tidaklah teranggap bahwa Sulaiman bin Musa melakukan kesalahan. Hal ini telah dibahas secara tuntas oleh Imam Daruquthni di dalam Kitab Man Hadasa wa Nasiya. 


3. Sulaiman bin Musa tidak sendirian meriwayatkan hadis ini dari Ibnu Juraij melainkan ada beberapa rawi lainnya. Sebagai berikut, pertama, Hajjaj bin Artah dalam riwayat Ibnu Majah, Ahmad, dan Baihaqi. Kedua, Ja’far bin Rabiah dalam riwayat Abu Dawud, dan Ahmad, ketiga, Ubaidullah bin Ja’far dalam riwayat Ath-Thahawi, dan keempat, Ayub bin Musa Al-Quraisy dalam riwayat Ibnu Adi. 



Selain itu, para ulama hadis lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz Abu Ubaidillah telah mensahihkan hadis tersebut, sehingga tidak ada keraguan di dalamnya. 


Dengan demikian hadis ini sahih dan menjelaskan bahwa wali nikah merupakan salah satu sarat sah sebuah pernikahan. Untuk lebih jelasnya mengenai kedudukan wali nikah dan takhrij hadisnya bisa dilihat di sini


4. Adanya saksi

Saksi yang adil merupakan syarat sah sebuah pernikahan berdasarkan hadis sebagai berikut. 


“Tidak ada pernikahan tanpa adanya wali serta dua saksi yang adil.” (HR. Al-Baihaqi, Ibnu Hibban, dan disahihkan oleh Adz-Dzahabi). 



5. Tidak ada halangan yang membuat pernikahan tersebut menjadi tidak sah


Ada beberapa hal yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan, yaitu. 
Kedua mempelai adalah mahram
Kedua mempelai memililiki tali persaudaraan lewat sepersusuan
Berbeda agama
Mempelai perempuan masih dalam masa iddah


Selain itu, pernikahan harus pula diwalimahkan dan disebarkan beritanya. Tanpa harus ditutupi karena takut ini dan itu.


Sehingga, jika pernikahan siri yang sedang dijalani melanggar beberapa syarat tersebut, maka pernikahannya dipastikan tidak sah. 


Adapun pernikahan siri yang memenuhi persyaratan tersebut, maka pernikahannya sah di mata agama, namun tidak dicatat dan belum memenuhi hukum positif di negara kita. Sehingga hal ini bisa mengakibatkannya tidak mendapatkan jaminan hukum serta hak-hak yang seharusnya ia dapatkan.


Perlindungan pada Perempuan
Tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan siri kebanyakan merugikan pihak perempuan. Apalagi jika tidak memahami hukum-hukum Islam. Misalnya, diajak nikah siri karena tidak disetujui oleh orang tua. Ataupun menikah tanpa meminta ijin orang tua.

Telah kita pahami dari uraian sebelumnya, kedudukan wali nikah adalah hal yang mutlak. Sehingga ketidakhadiran seorang wali nikah  mengakibatkan pernikahannya tidak sah (dalam hal ini adalah ayah kandung jika masih ada, dan tidak boleh diwakilkan, sedangkan bila tidak ada bisa diganti oleh paman kandung, saudara laki-laki kandung, ataupun anak laki-laki kandung yang telah baligh).


Selain itu, perlindungan pada hak istri dan anak pun acapkali abai. Sang anak kelak akan kesusahan untuk mendapatkan akte kelahiran sebab sang ibu tidak bisa menunjukkan buku nikah. 


Demikian juga apabila istri mendapatkan masalah dalam rumah tangganya, misalnya kasus KDRT, ataupun terjadi perceraian, maka bagaimana mungkin seorang perempuan akan mendapatkan haknya?


Jika seorang laki-laki serius dan ingin membangun rumah tangga secara sakinah, mawaddah, dan rahmah tentunya ia tidak akan menawarkan pernikahan siri pada perempuan. Melainkan pernikahan sah di mata agama dan juga negara. Wallahu a’alam bis shawab[]

Komentar

Postingan Populer