Menempa Ketabahan, Meraih Kebahagiaan


   

    Beban hidup semakin berat. Masalah ekonomi, keluarga, lingkungan, dan terkadang ujian mampu membuat pundak kita kehabisan daya untuk menampung. Saat itu terkadang kita merasa sangat lelah. Ingin rasanya pasrah saja menerima nasib, atau bahkan mungkin yang lebih ekstrim adalah melakukan protes pada Allah Azza wa jalla Padahal, ujian adalah salah satu cara Allah Azza wa jalla untuk membuat kita ‘naik kelas."





                                          Menempa Ketabahan, Meraih Kebahagiaan




Kisah-Kisah Pilu Perempuan Perindu Surga


    Mata Dea (34 tahun) berkaca-kaca. Entah apa jadinya hidupnya kelak, jika pembatalan pernikahan sepihak ini memang benar-benar dilakukan oleh calon suaminya. Alasannya banyak. Ini dan itu. Sesuatu yang menurut Dea adalah hal yang diada-adakan.     Padahal undangan sudah disebar. Seluruh teman-teman S2-nya juga telah menerima dan berjanji akan datang. Rekan-rekan kerja di kantornya bahkan telah menghadiahkan tiket wisata bulan madu yang mewah. Adakah yang salah dari semua ini?


    Beruntun pertanyaan ‘mengapa’ keluar dari bibir mungil Dea. Apakah ada yang salah dengan dirinya selama ini?

    Sekian lama melajang, dan kini telah menemukan tambatan hati, ternyata malah menjadi cobaan terberat dalam hidupnya. “Kenapa sih Allah tidak menyodorkan pilihan-pilihan untukku?” begitu komentar Dea.



    Di lain tempat, Vera (29 tahun) merasa hidupnya bagai di neraka. Bagaimana tidak? Mertua perempuannya selalu turut campur. Hingga ia sendiri tak leluasa mendidik putra-putrinya. Sang mertua nan galak ini konon berani memberi makan, minum, dan obat-obatan pada putra-putrinya tanpa meminta ijin. Maklum mereka memang tinggal seatap hingga tak bisa berbuat apa-apa. Masih numpang di rumah mertua. 


    Berulang kali Vera mengadukan hal ini kepada sang suami, namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Justru suaminya terlihat tidak terlalu mendengar. Vera pun mengeluh dan berkata pilu, “Aku menyesal sudah menikah dengan dia.”


    Santi (27 tahun) merasa hidupnya buyar tatkala tahu seseorang yang istimewa di hatinya berselingkuh dan meninggalkannya seorang diri. Kekasihnya menikah dengan gadis pujaannya seraya meretakkan kepingan hati Santi sedemikian rupa. Santi patah hati dan marah. Sudah lima tahun ia berpacaran dengan kekasihnya ini, dan sekarang ditinggal begitu saja seperti sampah? 

 

    Santi menyusutkan air mata dan berjanji tak akan memercayai laki-laki lagi. Entahlah, mungkin Santi juga berniat untuk melajang saja seumur hidup. Tak kuat rasanya jika harus dibohongi dan dimanfaatkan lelaki lagi. Ah, ia jadi sadar bahwa memang pacaran hanya menyakiti diri sendiri dan menjauhkannya dari Allah.


    Helga (40 tahun) merasa tidak mendapat perlakukan yang adil dari suaminya. Suaminya menikah lagi. Merasa sakit hati dipoligami, Helga kemudia mengintimidasi madunya. Setiap hari pekerjaan Helga adalah mengirimi madunya SMS, Whatshapp, BBM, dan telepon berisi makian dan umpatan. Ia tak rela suaminya menikah lagi.


    Merasa terganggu dengan perlakuan tersebut, madunya kemudian menelepon balik. “Apa sih yang Mbak inginkan dari saya?”

    Helga berkata dengan nada tegas, “Aku nggak suka sama kamu. Kamu sudah menghancurkan rumah tanggaku. Kamu merebut suamiku. Merebut ayah anak-anakku!”

    Keesokan harinya, suaminya datang dan berkata pada Helga, “Aku akan menceraikan madumu.”

    Helga bahagia, namun setelah itu ia sering melihat suaminya sedih dan menangis. Tak enak hati, Helga kembali mengijinkan suaminya kembali pada madunya. Mereka pun rujuk.

    Helga bersimpuh saat sujud. Segalanya ia pasrahkan kepada Allah. Allah pasti tahu yang terbaik. Ia berdoa dan berdoa. Ia akhirnya menerima suaminya melakukan poligami. Ia memasrahkan semua pada Allah.


    Di tempat lain, Ummu Hanin (40 tahun) juga merasakan hal yang sama dengan Helga. Hanya saja, Ummu Hanin memilih untuk bercerai, “Saya tak sanggup dimadu. Maka saya memilih hidup mandiri bersama anak-anak.”

    Pilihan Ummu Hanin bukannya tanpa risiko. Ia harus siap untuk mandiri, dan menafkahi anak-anaknya. “Sebab, mengandalkan kiriman mantan suami untuk anak-anak juga tidak mesti datang,” kisahnya dengan suara tercekat.

    Maka Ummu Hanin ini pun berbenah diri. Mulai dari menjadi ‘ojek’ anak-anaknya, hingga berjualan di depan rumah. Semua ia lakukan untuk bertahan hidup. “Saya yakin, Allah akan memudahkan kami,” ungkapnya optimis.

    Sebelumnya, Ummu Hanin ternyata sempat kehilangan arah. Perceraian karena adanya perempuan kedua membuat hatinya remuk. Ia pun melampiaskannya pada rokok, dan alkohol. Sempat pula ia tak shalat.

    “Saya adalah ibu rumah tangga biasa. Tak menyambi pekerjaan apapun. Sebab itu, saat terjadi perceraian itu, saya limbung,” demikian kisahnya.

    Namun, kemudian ia berhasil keluar dari rasa putus asanya. Ia ambil air wudhu, dan shalat. Sajadahnya basah oleh linangan air mata. Ia serahkan semua beban hidupnya pada Allah.


Menempa Ketabahan, Menikmati Ujian
    Seberapa pun berat ujian yang sedang kita hadapi saat ini, sebenarnya pilihan selalu ada di tangan kita. Apakah bisa bersikap tabah dan sabar, atau malah sebaliknya, menyerah dan terpuruk.

    Ketabahan merupakan sikap tangguh. Seorang yang tabah bisa bersikap sabar dan tepat saat ujian menyapanya. Tabah adalah sikap mampu bertahan dalam lika liku kehidupan, seberat apapun cobaan yang dihadapinya.

    Seorang ibu misalnya, bisa bersikap tabah dan tangguh tatkala harus mengandung sembilan bulan, dan melahirkan. Kemudian disusul dengan menyelesaikan penyusuan selama dua tahun untuk anak-anaknya. Menghadapi pertumbuhan dan kadang kenakalan serta tingkah ajaib anak-anak setiap hari. Ada tawa, tapi juga ada tangis.

    Jika tidak bisa bersikap tabah, bisa jadi terkena syndrome baby blues saat baru melahirkan. Bisa pula malah merasa bahwa menjadi perempuan adalah hal yang menyebalkan. Namun, jika bisa bersikap tabah karena yakin bahwa Allah Azza wa jalla memerintahkannya untuk merawat anak-anak, dan menjadi madrasah pertama, ia akan menikmati setiap fase itu. Semua menjadi terasa ringan dan tidak memberatkan. 

    Orang yang tabah akan mengatakan, “Baik. Saya siap menghadapi ujian ini. Ini adalah satu cara Allah untuk membuat saya naik kelas.” Kemudian ia bersabar dan mencari solusi.

    Dalam bahasa syariah, kita mengenal ketabahan sebagai kesabaran. Sebagaimana firman Allah Azza wa jalla berikut ini.
   
    “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah [2]: 153)

    Allah Azza wa jalla membersamai, memberi kekuatan, menolong orang-orang sabar, dan menegakkan shalat. Sabar di segala kondisi termasuk saat ujian datang. Sebagaimana kesabaran nabiyullah Nuh alaihissalam yang berdakwah begitu lama hingga ratusan tahun namun hanya mendapatkan sedikit pengikut.
   
    Juga kesabaran Hajar saat ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim alaihissalam di sebuah padang kering nan tandus bersama bayi Ismail alaihissalam. Hajar tak putus asa dengan ujian tersebut, begitu tahu bahwa itu merupakan perintah Allah azza wa jalla. Allah pun kemudian memberikan karunia air Zam-Zam kepadanya.

    Demikian pula kesabaran ibunda Nabi Musa alaihissalam yang harus melepaskan bayi Musa di sungai Nil. Ketabahan dan ketangguhan Asiyah istri Fir’aun dalam memegang keimanan tauhid di hadapan rezim yang begitu keji. Rezim yang dipimpin oleh suaminya sendiri.

    Sabar merupakan kebaikan bagi seorang muslim. Ketidaksabaran hanya akan menimbulkan rasa lelah dan putus asa. Sebab itu, terkadang solusi akan mudah ditemukan jika kondisi kita lebih tenang. Rasa panik, histeris, marah, hanya akan menutup akal sehat kita untuk berpikir jernih.

    Saat kita bisa menerima masalah dengan hati lapang, pikiran kita akan lebih fokus. Maka tanpa kita sangka, berbagai alternatif solusi dari masalah yang kita hadapi akan muncul. Sebaliknya, jika kita hanya meratapi nasib dan merasa bahwa ujian ini terlalu berat, maka akan muncul pikiran negatif yang sama sekali tidak produktif. Justru dengan itu, kita hanya akan berkubang dalam masalah dan tenggelam di dalamnya.


    Memang tidak mudah untuk menumbuhkan ketabahan. Namun, kalau bukan kita yang mengusahakannya, siapa lagi? Allah azza wa jalla tentu akan membersamai orang-orang yang sabar, dan bergerak positif terhadap ujian dan cobaan.

[Puspita RM, penulis beberapa buku | puspitarm.com] Dimuat di Majalah Hukum Islam AlMuslimun November 2015.
   
   
   

   
   
   

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer